18 Agustus 2011

Cerpen Mochammad Asrori: Payung

Setiap kali mendung menggamit langit dan angin menderu melanggar pepohonan di seberang masjid, ia selalu tergoda menarik payung itu dari sangkutannya di belakang pintu kamar ibu. Ya, ia selalu tergoda membukanya di udara terbuka ketika gerimis jatuh. Maka diam-diam ia pun melakukannya. Berjingkat-jingkat ia melewati ruang tengah dan ruang tamu, lalu berlari ke halaman setelah pelan-pelan menutup pintu.

 Ia kembangkan payung itu di halaman. Memutar-mutar batang besinya hingga tangkainya yang lebar ikut berputar cepat seperti putaran baling-baling heli. Saat butir-butir hujan berjatuhan di atas kain payung, secepat kilat butiran air itu terpeleset ke pinggir tangkai kain payung, lalu deras terhempas ke segala arah seperti peluru. Tertawalah ia sambil ikut berputar-putar, menari-nari.


Sebenarnya payung itu payung biasa saja. Malah tampak kuno. Gagang pegangannya masih kayu, bukan plastik seperti payung yang ada sekarang. Payung bertangkai lebar itu juga tidak seperti payung sekarang yang batang besinya bisa dipendekkan seperti antena radio, jadi payung itu tidak praktis dan tidak bisa masuk ke dalam tas. Sayang sekali, karena ia ingin sekali membawanya ke sekolah. Ia ingin membukanya dan menggunakannya saat hujan yang kerap sekali turun saat pulang sekolah.

Ia tak keberatan menenteng payung tersebut ke sekolah, tapi ibu selalu melarangnya, ”Tinggi badan kamu saja sedikit lebih tinggi dari payung itu, payung itu berat, apalagi jika kau kembangkan ketika hujan penuh angin, kau bisa jatuh terseret!”
 

Berat? Ia sama sekali tidak merasa payung itu berat. Payung itu memang panjang dan lebar tangkainya, tapi ia sama sekali tidak merasa berat membawanya. Lihatlah, saat inipun ia tengah mengembangkan payung itu di halaman saat hujan mulai riang. ”Lihatlah ibu, payung ini ringan sekali,” ucapnya sambil tetap menari dan memutar-mutar batang besi payungnya. Tapi ups, tentu saja ibu tidak senang melihatnya.

Sejak ia pertama kali menemukan payung itu tergeletak di kolong lemari ruang perkakas, ibu lekas-lekas merampasnya dan menyimpan payung itu di dalam kamarnya. Seperti ada sesuatu dalam payung itu yang tidak ingin diketahui oleh orang lain selain ibu. Sering saat seharusnya ia tidur siang, ia mengintip ibu di dalam kamarnya sedang menimang payung itu. Walau siang terik, suasana kamar ibu sedikit lindap, sehingga wajah ibu menjadi gelap. Tapi aku bisa menangkap dengan leluasa wajah ibu, kesedihan ibu. Sendu sekali raut muka ibu.
 

Ia jadi berpikir apakah ia yang menyebabkan kesedihan ibu? Ia mendengar ibu bergumam, tapi ia tak bisa mendengar apa yang ibu ucapkan. Ibu juga terisak-isak, tangannya meremas payung itu, tapi ia sama sekali tak mengerti mengapa ibu menangis. Ganjil sekali. Seperti ada yang hadir di kamar itu, selain ibu, yang tak dapat ia lihat. Apa ia terlalu kecil untuk memahami isak ibu? Ia tak mengerti sama sekali, ibu jarang sekali membuatnya mengerti. Ibu tidak pernah memberikan penjelasan atas pertanyaan, ibu hanya menegaskan pernyataan.

Bila berkaca pada teman-temannya, ia mulai sedikit mengerti mengapa beberapa temannya jauh lebih pandai darinya, jauh mengerti lebih banyak hal daripada dirinya, jauh lebih pemberani dan jauh lebih tidak cengeng daripada dirinya. Ia baru menyadari bahwa selain ibu, mereka memiliki seorang laki-laki yang mendampingi ibu mereka sebagai tempat bertanya. ”Laki-laki pendamping ibu jauh lebih pintar,” kata mereka. Mereka juga bilang laki-laki yang mendampingi ibu mereka akan senang sekali menjelaskan sesuatu hingga mereka memahami arti dan fungsi sesuatu. Laki-laki pendamping ibu mereka itulah yang selalu memberikan ramuan super agar mereka tidak cengeng dan menjadikan mereka lebih kuat dan berani.

Ibu tak memiliki laki-laki pendamping seperti ibu teman-temannya. Jika ia bertanya, mengapa ibu tak memiliki laki-laki pendamping, reaksi ibu bisa ditebak, jika tidak marah-marah dan menyuruh agar ia diam dan berhenti bertanya, maka ibu akan terisak-isak menangis di dalam kamar. Ia tak memperoleh jawaban, sama halnya ketika ibu sama sekali tak menyinggung mengapa ia tak boleh menggunakan payung itu. Hal yang justru membuat ia selalu tergoda untuk mengembangkan payung itu saat mendung sengit di langit. Mencuri-curi kelengahan, ia selalu berhasil menyelinap ke kamar ibu dan menarik payung itu dari sangkutannya di balik pintu.
 

Walau sudah lama tidak digunakan, payung itu masih berfungsi dengan baik. Tangkai besinya tidak ada yang patah, kainnya masih bersih dan tidak ada yang sobek, simpiul-simpul pengikat kain di ujung tangkai-tangkai besinya juga tidak ada yang lepas. Entah kenapa ibu tidak ingin seorangpun memakai payung itu, bahkan seingatnya ibu juga tidak pernah memakai payung itu. Kasihan sekali payung malang itu, pasti hampa terlalu lama tanpa pernah mencium terik surya dan cumbuan hujan. Ketika pertama kali kubuka, tangkai-tangkainya tampak berat untuk dikembangkan karena ditumbuhi karat. Pastilah jika lebih lama tidak juga dikembangkan, payung ini akan sekarat.

Ia merasa telah menjadi penyelamat payung itu. Tapi ibu beranggapan sebaliknya. Ibu selalu terganggu dan menganggap kelakuanku sebagai kenakalan. Saat pertama kali terpergok ibu ketika ia menggembangkan payung itu di halaman, ibu menghardik keras sambil mencubit pinggangnya hingga berbekas selama dua hari, ”Sudah ibu bilang, pakai mantel hujanmu saja, tidak usah banyak tingkah!” Sakit sekali, tidak pernah sebelumnya sesakit ini.
 

Ia kapok, tapi tidak lama, ketika mendung mulai menggamit langit godaan itu selalu tidak bisa ia tolak. Payung itu seperti menyihirnya untuk bergerak menggapainya. Maka ia tidak hanya selalu bersabar menunggu waktu yang tepat, ia pun mulai menciptakan waktu yang tepat untuk mengambil payung itu dari sangkutannya di dalam kamar ibu. Ia selalu bisa menyelinap. Menurutnya payung itu ajaib, karena ketika ia memutar-mutar batang besinya, ia selalu merasa ada udara hangat yang menjalar. Hangat itu kuat mengusir hawa dingin karena hujan dan berangin. Hangat, seperti ada yang sedang mendekapnya dan ikut menari bersamanya. Pasti payung itu menyukainya.

Suatu hari ia ingin sekali membawa payung itu ke masjid, ia melihat mendung di atas langit. Ia merengek pada ibu agar bisa membawa payung itu untuk menemaninya mengaji. Ia terus merengek, tapi ibu tetap tak memedulikannya. Saat rengekannya makin menjadi, ibu yang kesal langsung memasukkan mantel hujan ke dalam tas dan menjejalkan sebuah payung lain yang dapat masuk ke dalam tas, ”Silahkan pilih, pakai mantel hujanmu atau payung itu, jangan pakai payung ibu!” tegasnya. Ia diam dan mengurungkan niatnya, tapi ia tahu, masih ada banyak waktu menunggu kelengahan ibu, baik saat ibu menyapu, mencuci dan menyetrika baju, atau saat ibu sibuk mengolah bumbu.

Berjingkat-jingkat ia melewati ruang tengah, pelan-pelan membuka pintu, lalu masuk ke kamar ibu. Saat hendak mengambil ancang-ancang menarik payung dari sangkutannya kakinya mendadak perih menginjak sesuatu. Ia mengaduh, dilihatnya serakan pecahan kaca di lantai. Apa ibu memecahkan sesuatu? Gelaskah, atau piringkah? Tapi selidik punya selidik pecahan itu berasal dari sebuah bingkai foto. Ia melupakan sejenak perih di kakinya yang meneteskan darah. Ia menekuni foto yang terserak, foto ibu, disamping ibu seorang laki-laki mendekapnya. Apakah ini laki-laki pendamping ibu?

Di foto itu, ibu dan laki-laki yang mendekapnya, tersenyum bahagia walau terlihat beberapa bagian tubuh mereka kuyup oleh air. Ah lihatlah, mereka berdua berfoto di bawah sebuah payung saat hujan. Payung bertangkai lebar dan berpegangan dari kayu. Persis yang sedang ia coba raih dari sangkutannya di balik pintu. ”Apakah laki-laki itu suatu saat akan datang ke rumah ini?” batinnya. Senang sekali ia membayangkan akan ada seorang laki-laki pendamping ibu yang nantinya akan membuatnya jauh lebih pandai, jauh lebih mengerti banyak hal, jauh lebih pemberani, dan jauh lebih tidak cengeng.

Payung itu dan foto yang ia lihat di kamar ibu membuatnya bahagia. Jadilah ia tak pernah jera diam-diam mengambil payung dan memainkannya di halaman saat hujan. Hal itu terjadi berulang-ulang tiap hari, ibu pun dibuatnya tambah kesal. Ibu mulai mengacungkan apa saja yang saat itu sedang dibawanya ketika mendapati ia memainkan payung; batang sapu lantai, sapu lidi halaman, rotan penepuk bantal, rotan kemoceng, pengulek bumbu; semua pernah ibu serbukan ke arahku. Ibu seperti melihat pencuri ayam. ”Sudah dibilang jangan pakai payung itu, jangan pakai payung itu, jangan payung itu!” teriak ibu berulang-ulang.
 

Sambil menjerit-jerit ia akan berlari ke kamar dan bersembunyi di kolong tempat tidur. Tapi ibu tidak akan berhenti sampai disitu, ibu tetap mengejar, memburu sampai ke kolong tempat tidur, merampas payung dari tangannya dan selanjutnya memberi sedikit buah tangan. Ia mengaduh sakit, belum pernah sesakit ini. Bertambahlah bekas luka pada kulitnya. Luka yang baru akan hilang rasa sakitnya esok lusa.

Ya, begitulah. Setiap kali mendung menggamit langit dan angin menderu melanggar pepohonan di seberang masjid, ia selalu tergoda menarik payung itu dari sangkutannya di belakang pintu kamar ibu. Ia selalu tergoda membukanya di udara terbuka ketika gerimis jatuh. Diam-diam ia pun melakukannya. Ia tahu bahwa ibunya sering melamun baik saat menyapu, mencuci dan menyetrika baju, atau saat sibuk mengolah bumbu. Jadi ia bisa leluasa menyelinap ke kamar ibu.
 

Ia kembangkan payung itu di halaman. Memutar-mutar batang besinya sehingga tangkainya yang lebar ikut berputar cepat seperti putaran baling-baling heli. Tertawalah ia sambil ikut berputar-putar, menari-nari. Ia merasa ada udara hangat yang menjalar ketika ia memutar-mutar batang besi payungnya. Hangat, seperti ada yang sedang mendekapnya dan ikut menari bersamanya. Ia teringat foto ibu dan laki-laki di bawah sebuah payung saat hujan. Mereka berdua tampak hangat bahagia walau kuyup oleh air hujan. ”Payung bertangkai lebar dan pegangannya dari kayu ini mungkin payung pembawa kebahagiaan.” batinnya. Ia tersenyum oleh kesimpulannya hingga tiba-tiba ada angin keras menghunjam ke halaman rumah.

Payung yang dirasanya ringan langsung memberat. Satu hentakan keras angin membuat payung itu terlepas dari pegangan jemari mungilnya dan melambung ke angkasa. Bersamaan dengan itu, samar-samar ia menangkap suara panggilan ibunya. Ia gugup, ia takut jika payung itu rusak. Maka ia langsung berlari keluar halaman memburu payung itu. Dilihatnya payung itu terjerembab di seberang jalan, berputar-putar dipermainkan angin. Ia menghambur, ia tak memedulikan bunyi decit ban beradu dengan aspal jalan yang menderu menyeruak ke arahnya. Gelap. Tubuhnya menjadi ringan. Ia mendengar jeritan ibu memanggil-manggil namanya. Saat ia berhasil membuka mata, semuanya menjadi hitam putih. Payung itu ada di pelupuk matanya, ia berusaha menggapai. Tanpa payung itu, dingin hujan menyergap tubuhnya.

Tidak ada komentar: