Perdana Menteri Swedia Fredrik Reinfeldt menyambut gembira terpilihnya Tranströmer dengan mengatakan minat baca diharapkan meningkat di negerinya. "Saya gembira dan bangga. Saya tahu bahwa telah lama banyak orang berharap untuk ini," katanya.
Tapi, meski diunggulkan, kemenangan Tomas Transtromer yang diumumkan tetap menuai kontroversi, dari yang bersorak kegirangan hingga yang gusar. Pendukung Tomas menyebut kemenangannya sebagai sebuah keharusan. Paul Muldon seperti dikutip New Yorker berpendapat Swedia seharusnya bangga memberikan kehormatan kepada penyair yang sangat berarti bagi dunia. Sementara pihak yang menentang mempersoalkan keputusan Komite Nobel yang lagi-lagi memilih pemenang dari Eropa. Dalam 10 tahun terakhir,Tomas menjadi penulis Eropa kedelapan peraih Nobel.
Pihak Akademi Nobel menilai karya-karya Transtromer sangat kaya perlambang serta gambaran alam negerinya, yang diolahnya intens lewat tema kematian, kesepian dan penebusan. Kemenangan Nobel untuk penyair ini tentulah sebuah hadiah berarti bagi negerinya, yang selama ini hanya dikenal luas karena penulis kriminal Henning Mankel dan kelompok musik pop ABBA.
Dalam perkembangannya, puisi-puisinya bercerita tentang perjalanannya ke Balkan, Spanyol, dan Afrika, juga keresahannya atas konflik Baltik yang ia gambarkan sebagai pertentangan antara lautandaratan. Meskipun memakai bahasa sederhana (yang belakangan ditentang oleh Neil Astley, editor Bloodaxe Books yang baru-baru ini menerbitkan kumpulan puisi Tranströmer’s New Collected Poems seperti dikutip The Guardian), puisi-puisi Tomas Transtromer seperti bernyanyi dan berlapis- lapis. Pilihan kata yang digunakan Tomas dalam puisi-puisinya seringmemiliki banyak tafsir.
Transtromer, yang juga menggemari musik (ia bermain piano dengan tangan kirinya) sudah pernah masuk nominasi hajatan akbar itu pada 1993. Ia lahir pada 15 April 1931, dari pasangan ibu seorang guru dan ayah seorang jurnalis. Penyair Amerika Serikat, Robert Hass, mengomentari karya-karya Tomas Transtromer sebagai “Memberi rasa yang pas tentang bagaimana rasanya menjadi orang kebanyakan yang menjalani hidup di saat segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya."
Swedia sebetulnya pernah pula menyabet Nobel Sastra pada 1974 lewat Eyvind Johnson dan Harry Martinson. Hanya saja kemenangan itu kemudian menyulut kontroversi, pasalnya mereka ternyata bagian dari Akademi Nobel yang membawahi hajatan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar