11 Maret 2009

Cinelit, Genre Baru Penulisan

Jika menengok toko buku dan melihat rak-rak bagian novel kita bakal banyak disuguhi berbagai macam jenis novel. Bahkan pihak toko buku biasa memberinya label, novel sastra, novel teenlit, novel chicklit, juga novel kidlit.

Tapi, teliti lagi, ada juga deretan novel yang beda. Sebagai Chicklit? Bukan ah. Novel Teenlit? Bukan kok. Namun tanpa perlu petugas sensus handal untuk mengetahui jumlahnya yang terus bertambah secara signifikan: Novel adaptasi dari film.


Kita mengenal novel sebagai satu produk dari pengarang yang di dalamnya melekat unsur utama yang wajib hadir: otentisitas. Pengarang bisa berlaku sebagai mediator kehidupan yang memimetiskan pengalaman kehidupan. Pengarang memiliki kekuatan kecil Tuhan untuk mencipta. Tentu saja ciptaan yang unik bukan duplikasi. Berangkat dari sana sastra, khususnya novel, memiliki kedudukan yang istimewa dan menjadi patokan dalam pengembangan bidang kreatif lainnya.

Contoh paling sering adalah karya sastra yang menjadi naskah drama dan dipentaskan, atau menjadi skenario film dan difilmkan. Proses ini bisa kita lihat dari sederetan karya-karya besar masa lalu, dari yang paling klasik seperti Ramayana dan Mahabharata di Asia, hingga Romeo and Juliet, Hamlet, dan Julius Caesar di Eropa, yang semuanya kemudian diangkat menjadi pertunjukan drama dan film. Novel kontemporer yang digandrungi anak-anak muda seperti Harry Potter dan The Lord of the Ring ketika difilmkan pun sukses menangguk keuntungan dan selalu ditunggu-tunggu kehadirannya.

Karya sastra tersebut menjadi ide, menjadi sebuah sumber, yang digali unsur-unsur teks dialognya dan teks deskripsinya untuk diramu menjadi sebuah dialog dalam pentas drama yang memikat, atau diolah menjadi perjalanan skenario visual film yang indah. Tengoklah film Bulan Tertusuk Ilalang oleh sutradara Garin Nugroho yang dibuat berdasar puisi penyair Madura D. Zawawi Imron. Pertanyaannya, bagaimana dengan proses terbalik, ketika sebuah novel hadir dari sebuah film, cukupkah sebagai pemantik bahwa karya tersebut layak mendapat label novel (otentik)?

Kita bisa simak dan memberikan penilaian novel-novel yang diadaptasi dari film, seperti film-film bertema hantu Terowongan Casablanca, Hantu Bangku Kosong, Genderuwo, Pocong 2, Lantai 13, Angker Batu, dan Rumah Pondok Indah. Juga film-film bertema bumbu-bumbu cinta seperti Dara Manisku, The End of Story, Kangen, Merah Itu Cinta, Sang Dewi, Bukan Bintang Biasa, 30 Hari Mencari Cinta, Mendadak Dangdut, Cewek Matrepolis, dan Medley. Bisakah deretan di atas disebut sebagai novel? Rasanya perlu garis tegas terhadap sebuah genre besar bernama novel yang merupakan sebuah produk dasar pengembangan kreatifitas manusia.

Tapi yang jelas, tonjolan aspek komersial yang duduk manis di belakang kemudi novel adaptasi rasanya tidak sedap lagi dikonsumsi. Maraknya novel-novel yang diadaptasi dari film secara jelas lebih mementingkan sisi komersil, novel merupakan pesanan dari pemegang hak film untuk menangguk keuntungan lebih dari film yang telah dan akan beredar. Novel yang hadir lebih sebagai merchandise dari film daripada sebagai sebuah karya novel. Hal tersebut tampak dalam medan garapan di dalamnya yang antara sisi film dan novelnya hampir tidak ada perbedaan berarti, hanya berganti media.

Rasanya siapapun bakal lebih menikmati novel-novel teenlit yang kemudian diangkat ke layar perak, seperti Jomblo, Dealova, Tentang Dia, dan Cintapuccino dari pada proses sebaliknya. Kita juga bisa menengok kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi yang di adaptasi dari novel. Atau baru-baru ini melalui film Perempuan Berkalung Sorban yang diadaptasi dari novel karya Abidah El Khalieqi.

Jika dalam proses menuangkan karya sastra, khususnya novel, kedalam bentuk film membutuhkan waktu lumayan lama, novel-novel adaptasi dari film rata-rata dikerjakan oleh penulis dengan jangka waktu yang sangat pendek, sangat instan dan sesuai pesanan. Sekedar memindah script skenario menjadi bentuk prosa. Padahal Idealnya, tentu saja bukan sekedar mendaur ulang apa yang terlihat dalam film menjadi kata-kata.

Film sangat dibatasi oleh durasi dan aturan main yang ketat, banyak lubang yang menjadi pertanyaan bagi penikmatnya, banyak yang tidak tersampaikan atau tidak terselesaikan dalam sebuah film. Inilah yang harus dipenuhi sebagai nilai tambah novel adaptasi. Harus memiliki bidang garap yang lebih detil, seperti pengungkapan latar belakang yang biasanya kurang dalam film, tokoh dan penokohan yang kurang mantap dan beralur dangkal, setting yang dalam film diakali untuk meminimalkan pengeluaran bisa leluasa dikembangkan dalam sebuah novel, atau hal-hal lainnya. Dari sisi ini, novel adaptasi dari film yang patut dikedepankan adalah novel Biola Tak Berdawai oleh Seno Gumira Ajidarma, dan novel Naga bonar Jadi 2 oleh Akmal Nassery Basral.

Seperti dalam pengantar awal saya, maraknya novel adaptasi hanyalah efek dari cuaca yang tidak menentu. Perfilman Indonesia yang sedang giat berbenah layaknya hujan yang ikut menyuburkan bibit-bibit baru di luar konteks film, yaitu novel adaptasi. Sebagai bibit yang baru lahir, kita tidak tahu buah apa yang akan tumbuh kelak. Tapi sebagai bibit baru apa salahnya jika kita menandainya dengan sebuah nama. Sebuah genre penulisan yang baru. Pembagian genre bukanlah suatu pembagian kelas atau kasta dalam novel, tapi lebih ke arah segmentasi pembaca, baik dari segi usia, intelektual, atau hanya sekedar dorongan mood pembaca. Murni untuk kepentingan pembaca, jadi tujuannya memudahkan pembaca menemukan jenis bacaan yang diinginkan.

Jika dahulu muncul genre chicklit, lalu teenlit, lalu kidlit, mungkin ada baiknya menambah satu genre lagi, sebut saja cinelit, untuk karya-karya novel yang diadaptasi langsung dari film. Jadi, selamat meramaikan peta penulisan novel di Indonesia untuk Cinelit.

Tidak ada komentar: