UJUNG telunjuk itu mendekati sakelar di
tembok hijau muda. Begitu benda itu ditekan, warna terang menghilang,
berganti berkas sinar yang merembes di tirai jendela, meninggalkan
bayangan terali berbentuk trapesium. Tubuh sebentuk bayangan mendekati
jendela, kedua tangannya memegang, lalu menyingkap ujung tirai. Seperti
sedang memandang ke luar. Satu tarikan napas terdengar sebelum bayangan
itu menggeret langkah menuju ranjang.“Sepertinya ada orang di luar.”
Dua pekan Airah kehilangan lelapnya, sejak mereka pindah
ke rumah baru. Bangunan impian yang akhirnya didapatkan setelah lima
tahun menikah. Hasil kerja kerasnya bersama Tabah, suami, yang malam itu
tidur memunggunginya. Rumah mewah dengan gerbang setinggi tiga setengah
meter. Rumah atasan Tabah yang sudah lama tidak ditempati. Rumah yang
diberikan sebagai hadiah atas keberhasilan proyek besar kantornya.
Dia ingat, pagi itu Tabah pulang lebih cepat. Lelaki
bertubuh ramping dengan mata teduh itu tidak dapat menyembunyikan
kegembiraan di wajahnya. Begitu memasuki rumah, dia menjejak cepat dan
memeluk Airah yang sedang mengolah adonan kue di ruang tengah. “Kita
akan segera pindah,”ucapnya tanpa melepaskan peluknya dari tubuh
berbalut celemek.
Kabar rencana kepindahan yang tiba-tiba membuat udara
ruang tengah rumah kontrakan serasa dingin menyenangkan. Bukan dingin
sombong yang hanya ingin menyiksa, tapi dingin yang dengan sadar
menghantarkan tubuh pada ketulusan ranjang pengantin.
Airah melingkarkan lengan kanan ke lengan kiri suaminya.
Keduanya menatap rumah kontrakan yang empat tahun mereka tempati.
Gambar-gambar hidup, bergerak tak beraturan di kepala, berisi perjalanan
selama di rumah kontrakan. Gambar-gambar yang terus bergerak mengikuti
mereka saat duduk dalam mobil sedan hitam, menuju rumah baru.
Hanya satu jam melaju sedang. Mobil mereka, juga
kendaraan perkakas rumah, memasuki pekarangan sebuah bangunan. Adegan
yang sempat terjadi saat keduanya meninggalkan kontrakan seakan
berulang. Airah dan Tabah mematung di depan pintu yang terlihat tinggi.
Pintu rumah berwarna cokelat tua dengan gagang pintu dari kuningan dan
sebuah lingkaran sebesar telur ayam kampung di sampingnya. Lingkaran
yang terlihat seperti berbahan kaca atau kristal itu mempermanis
penyambutan kedatangan mereka.
Udara di kamar gelap Airah dan Tabah malam itu terasa
lebih lembap. Airah masih merasa dingin menggigit tulang-tulangnya.
Untuk kedua kali sejak kepindahan mereka, Tabah tidak mau memeluknya.
Dia terus memunggungi. Tidak menggeser sedikit pun selimut dari
permukaan kulit di seluruh tubuh.
Airah bertahan tidak mengganggu tidur Tabah seperti yang
ia lakukan sepanjang dua pekan terakhir. Dia menggerakkan badan
memunggungi Tabah. Kedua telapaknya disatukan menjadi pengganjal pipi
kanan dari bantal. Airah mencoba membuka mata, namun tidak mampu
ditahannya berlama-lama, terasa seperti sobekan kain yang terikat benang
dan jarum jahit. Dua kelopak itu tertutup lagi. Mengembalikan lingkaran
dari benang putih yang kini sudah begitu jelas. Dalam seluruh pandangan
Airah, lingkaran putih itu terus menguat, padat.
.
RUANG tengah yang dua kali lebih besar
dari seluruh bagian rumah kontrakan Airah dan Tabah menyambut. Keduanya
tenggelam dalam arus pikiran yang berlarian pada tiap jengkal lantai
putih berselimut debu tipis. Arus pikiran yang terus bergerak itu
membuat mereka seperti lupa pada lalu lalang pekerja yang keluar-masuk
membawa aneka rupa perabot.
Bangunan itu berlantai dua dengan warna putih yang
mendominasi. Di lantai satu terdapat ruang tengah, tepat setelah membuka
pintu masuk. Ruangan berisi sofa hijau muda dengan benang-benang
keemasan dengan bentuk teratai pada sandarannya. Tegak lurus dengan
pintu masuk, tepat di ujung ruang tengah, di belakang sofa tunggal,
terlihat pintu kecil seukuran kotak tabung gas pemadam api di
sudut-sudut hotel. Pintu kecil itu tidak aneh kecuali warnanya yang
merah menyala, kontras dengan warna seluruh ruangan. Tidak jauh dari
pintu merah, tepatnya di sebelah kiri, tangga selebar kurang-lebih satu
meter siap membawa siapa saja menuju lantai dua.
Di kiri ruang tengah ada ruang berisi sebuah meja dan
rak-rak buku. Tabah tersenyum lebar saat memasuki ruang itu. Dia
merencanakannya menjadi tempat membaca. Berhadap-hadapan dengan ruang
baca di benak Tabah, terdapat sebuah ruang kosong yang membuat Airah
bersemangat untuk segera membeli piano dan alat musik lainnya.
Di lantai dua, ada tiga ruang tidur dengan ukuran dan
perkakas yang sama persis. Satu kamar berada segaris dengan pintu merah,
beberapa meter dari ujung tangga. Dua kamar lainnya membentuk garis
lurus dengan dua kamar sisi kiri-kanan ruang tengah.
Hari itu mereka bersih-bersih, memasang beberapa perabot
baru yang akhirnya lebih banyak tidak terpakai. Belakangan Airah
menyadari ada yang unik dari semua pintu di rumah itu. Semua pintu,
bahkan pintu dapur dan kamar mandi, memiliki lingkaran putih sebesar
telur ayam kampung. Lingkaran seperti dekat gagang kuningan pintu masuk.
Posisinya pun sama. Namun bukan bentuk atau warna yang membuat
lingkaran itu unik, jika bukan aneh. Airah terkejut ketika menyadari
lingkaran itu sejenis kaca transparan. Melaluinya, mata dapat melihat ke
dalam kamar. Mendatangkan gamang dalam benak Airah. Gamang yang tak
hilang mendengar penjelasan Tabah. “Bosku itu punya cita rasa khas
terhadap bangunan. Rumah ini adalah salah satu rumah yang paling dia
sayang. Makanya kita dipesan tidak mengubah apa pun.” Meski tidak puas,
Airah memutuskan tidak mencari tahu lebih jauh. Dia dan suaminya sibuk
membereskan seluruh bagian, termasuk kamar segaris pintu merah yang
mereka jadikan kamar tidur.
Malam itu, tubuh keduanya terasa roboh seperti usai
dihantam petarung kelas berat. Sehabis santap malam, mereka memasuki
kamar tidur lebih cepat. Keduanya lelap beberapa saat setelah kulit
menyentuh kasur. Tapi tidak berlangsung lama. Tubuh Airah mulai terlihat
gelisah. Bergerak acak, memperbaiki posisi kepala, kaki, dan tangan.
Geraknya seperti tubuh yang sedang dikerangkeng pada ranjang beraliran
1.000 volt. Tubuh itu tidak mau diam, kelopak mata Airah yang mengatup
bergerak-gerak. Dengan napas tersengal, Airah melihat ruang tengah yang
tiba-tiba berubah.
Ia berdiri tepat di ujung tangga menuju lantai satu
rumah mereka. Matanya menyipit diikuti gerakan kulit jidat yang
mengkerut. Dia kebingungan menatap ruang tengah yang kosong-melompong.
Semua sofa hilang, hanya lantai putih yang terlihat dan tiga pintu
cokelat. Airah curiga ada maling memasuki rumahnya. Dia harus segera
memanggil Tabah. Namun dia kaget ketika suaranya tidak mampu menembus
tenggorokan. Dia lebih kaget ketika kakinya juga tidak bisa digerakkan.
Airah terus mencoba menggerakkan tubuh, namun tubuhnya seperti
terpancang pada tiang penyaliban, memaksa matanya menatap lurus ke
lantai ruang tengah.
Mata Airah bergerak. Jantungnya bergerak cepat.
Empat sosok wanita tiba-tiba datang dari arah berbeda. Dari pintu masuk
utama, pintu di kiri-kanan ruang tengah, dan muncul dari arah tepat di
bawah posisi Airah. Tubuh-tubuh mereka berbalut kebaya biru tua dipadu
kain batik yang hanya sepaha melangkah bak penari yang hendak memulai
persembahan. Rambut keempat wanita itu panjang hingga ke tengah
punggung, seukuran rambut Airah. Mereka berjalan menunduk hingga
berhadap-hadapan di tengah ruangan.
Sepi. Bahkan Airah tidak mampu merasakan udara di
sekelilingnya. Sampai terdengar gelegar tawa keempat wanita itu. Tawa
mereka menggema ke seluruh ruangan dan seperti terjadi tepat di
depan kuping Airah. Dia berusaha menutup mata, menggerakkan tangan
menutup telinga, berusaha sekuat tenaga. Namun tubuhnya tidak mau
mematuhi perintah. Airah berusaha menyebut nama Tabah, tapi tidak juga
berhasil. Hingga akhirnya dia lunglai dan tersadar ketika Tabah membuka
tirai kamar.
Mimpi di malam pertama di rumah baru mencabut semua akar
pohon kesenangan yang baru ditanam Airah. Hilang semua rencana
berbelanja, termasuk keinginan membeli biola dan piano. Semakin hilang
kesenangannya ketika Tabah menanggapi mimpinya dengan ringan. “Kamu
terlalu lelah.”
.
“RUMAH ini paling bersejarah dari semua
rumah yang saya punya,” kalimat itu keluar bersama kepulan asap dari
mulut pria yang duduk santai di sofa ruang tengah. Canang, pria berbadan
tinggi-kekar itu, duduk tepat di sofa tunggal depan pintu merah. Dengan
kaus putih bersih dan celana jins, dia tidak tampak seperti atasan
Tabah. Penampilannya sangat berbeda dengan pria yang pernah dilihat
Airah beberapa tahun lalu, dalam perayaan ulang tahun kantor suaminya.
Hari Minggu itu Canang berkunjung setelah dua pekan
kepindahan Airah dan Tabah ke rumahnya. Kedekatan Canang dan Tabah
diketahui Airah melebihi kedekatan Canang dengan pekerjanya yang lain.
Padahal suaminya hanya salah satu manajer bagian pada perusahaan Canang.
Sesekali Canang mengisap rokok kretek dalam-dalam, lalu
menenggak kopi. Dengan status Canang sebagai atasan, Airah merasa ganjil
melihat rokok yang diisap Canang. Bukan rokok bermerek atau cerutu dari
luar negeri, yang banyak digunakan untuk menggambarkan kemegahan
seseorang. Tapi hanya rokok kretek yang mudah didapatkan di emper
jalanan. “Rumah ini dulunya ditempati istri pertama saya,” kata Canang
seraya membuat lingkaran dengan asap rokoknya, persis teman remaja Airah
yang merokok di belakang sekolah. “Saya hadiahkan kepada Tabah bukan
tanpa alasan. Saya percaya kalian akan cocok dengan rumah ini, karena
tanggal menikah kalian sama dengan kami.”
Airah tidak banyak berbicara selama menemani Canang.
Bukan karena tidak ada hal yang ingin dia tanyakan. Hanya saja, Airah
merasa ada sesuatu yang memaksa lidah dan tubuhnya tidak bergerak.
Sesuatu yang keluar dari tubuh Canang dan membawa Airah pada perasaan
serupa mimpi pertama di rumah baru.
Hingga Canang memasuki mobilnya, kalimat Airah yang
hendak menanyakan kepala ikat pinggang Canang tidak juga keluar. Kepala
ikat pinggang bulat putih, persis tiap bulatan pada pintu di rumah
mereka. Hanya bedanya, di tengah bulatan putih yang dikenakan Canang
terdapat bulatan lain berwarna merah seukuran kelereng. “Jaga diri
baik-baik,” kalimat itu diucapkan Canang tepat sebelum menutup jendela
mobil dan berlalu. Airah tidak kuasa bertanya kepada Canang, begitu juga
ketika melihat wajah suaminya yang mekar. Dia diam saja, seperti
diamnya ketika terbangun dari mimpi-mimpi sejak malam pertama kepindahan
mereka. Mimpi yang masih terus terjadi.
.
SUARA hujan masih terdengar meski tidak
sekencang sebelumnya. Tubuh Airah juga mulai tenang, menyisakan gerakan
kecil seperti riak permukaan air yang menuju diam. Tubuh Airah masih
memunggungi Tabah. Malam itu dia mencoba bertahan. Matanya terpejam
membiarkan lingkaran putih memenuhi pandangan. Membawa tubuhnya kembali
berdiri menatap ruang tengah tanpa sofa.
Waktu seakan-akan kembali ke garis awal. Airah
berdiri tepat di ujung tangga menuju lantai satu rumah mereka. Dia
terkejut melihat tubuhnya berbalut kebaya biru tua dengan kain batik
yang hanya sepaha. Airah tidak mampu berteriak, bergerak, atau melakukan
yang dia inginkan hingga semua terjadi lagi. Empat wanita tiba-tiba
datang dari arah berbeda.
Airah kehilangan kuasa atas tubuhnya, dia tidak
mampu menahan diri melangkah menuruni tangga, membawanya ke arah empat
wanita itu. Kali ini Airah melihat jelas mereka berjalan dengan
wajah-wajah tertunduk. Rambut mereka bergoyang pelan mengikuti gerak
tubuh. Airah tidak mampu memalingkan wajah. Dia sangat ingin memanggil
Tabah, yang mungkin masih memunggung di kamar. Sampai akhirnya Airah
berada tepat di antara empat wanita itu dan tiba-tiba tidak mampu
menahan diri untuk tidak ikut tertawa. Airah tertawa seirama keempat
wanita itu. Tertawa dengan suara yang menggema ke seluruh ruangan hingga
mereka diam dan saling menatap lurus.
Wajah keempat wanita itu bersih, putih. Kulit wajah
yang terlihat selaras dengan tangan dan betis. Airah merasakan kesejukan
menatap wajah-wajah dengan hidung mancung dan bibir tipis itu. Airah
merasa lebih sejuk lagi ketika ia melihat lubang mata di wajah mereka.
Keempat wajah itu memiliki lubang mata tanpa bola, hanya lubang hitam
menganga. Airah merasakan kesejukan semakin dalam ketika tubuhnya
ditarik ke dalam lubang mata itu. Membuatnya seperti sedang berjalan
dalam lorong gelap yang panjang. Lorong yang di ujungnya terdapat
lingkaran cahaya dan membawa Airah melihat gambar-gambar dari seluruh
bagian rumah barunya. Hingga sampai ke kamar tidurnya dan suami.
Airah tersenyum melihat Tabah menggoyang tubuh Airah
yang masih tergeletak di ranjang kamar. Tabah terlihat sangat panik.
Sesekali meletakkan telinga kiri dan kanannya ke dada Airah. Dia
tersenyum mendengar teriakan Tabah coba membangunkannya.
“Buka matamu, Airah!” Tabah berteriak sambil terus
menggerakkan tubuh istrinya. Pagi baru saja tiba ketika Tabah melihat
istrinya terlelap. Dia segera keluar dari kamar dan kembali membawa
segelas susu dan roti bakar. Namun Airah tidak juga bangun. Tabah
tiba-tiba melihat gerakan napas istrinya tidak menentu, kadang perlahan
lalu sangat cepat. Dua kelopak mata Airah juga bergerak-gerak seperti
tertahan sesuatu. “Buka matamu Airah!” Tabah berusaha membangunkan
istrinya itu ketika menyadari keganjilan. Berkali-kali dia membuka
kelopak itu dengan paksa, namun Airah bergeming. Napas Airah yang
tersengal membuat Tabah semakin tidak menentu. Dia berlari ke luar
kamar, kembali, lalu mengangkat tubuh istrinya. Membopong tubuh Airah ke
luar rumah.
Airah tersenyum melihat Tabah bergegas membawa
tubuhnya menuju mobil yang seketika melaju. Dia lega melihat sikap
suaminya yang beberapa hari terakhir seakan-akan tidak menganggapnya
ada. Airah senang melihat cara Tabah mengangkat tubuhnya. Dia tersenyum
hingga dua tangannya terpegang wanita di kiri-kanannya. Tangan mereka
hangat, mengalahkan semua hangat yang pernah Airah rasakan. Dan
tiba-tiba saja tawa mereka berlima meledak panjang sebelum akhirnya Airah berbalik dan melangkah bergandengan bersama seorang wanita berkebaya biru, menuju pintu merah menyala. (*)
(Koran Tempo, 11 Desember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar