1. Kematian si Pahit Lidah
Cerita ini tentang Mak Yun, perempuan berumur yang meninggal petang
Sabtu kemarin. Perempuan tua nyinyir yang terkenal tukang ber-ghibah.
Gosip apa yang hendak kau tanyakan? Perihal Mang Akem yang baru saja
berbini dua? Atau tentang Bi Inar yang telah pisah ranjang selama tiga
purnama dengan lakinya gara-gara cemburu buta. Mungkin pula kau hendak
tahu desas-desus yang beredar mengenai Mang Mahmud yang kaya mendadak di
Tanah Abang. Oi, tak ada berita yang tak diketahui Mak Yun. Bila kau
dengar cerita darinya lengkap dengan rumor yang tak jelas benar atau
salah, asli ataukah telah ditambah-tambah biar sedap, kau akan berkata
penuh mufakat: alangkah rincak lidah perempuan tua ini menyusun cerita.
Tapi, bagaimana bila kini ia yang diceritakan orang-orang di Tanah Abang?
Inilah yang tengah ramai dibicarakan orang-orang sedusun laman.
Tentang kematian Mak Yun akibat lidahnya. Konon, dari desas-desus yang
beredar, sepekan sebelum meregang nyawa, Mak Yun mengeluh lidahnya
mencecap rasa pahit yang bukan kepalang. Liurnya terasa seperti
bratawali, tanaman obat yang rasa pahitnya Allahu rabbi. Pening
alang perempuan tua itu mencari obatnya. Menegak bergelas air putih tak
mentawarkan rasa pahit itu, bersedok gula pun tak dapat
menghilangkannya.
Telah berpuluh rumah dukun kampung ia sambangi, sampai-sampai Mak Yun
pun menanggalkan keyakinannya yang enggan menjejakkan kaki di Puskesmas
lantaran ia tak percaya akan kemujaraban jarum suntik dan obat-obat
pahit beraroma asing. Tapi, tak satu pun yang dapat membuat lidahnya
kembali seperti semula.
Dan, petang Sabtu yang naas itu orang-orang dikejutkan oleh lolongan
anak bujang bungsu Mak Yun yang menemukan perempuan tua nyinyir itu mati
bersimbah darah dengan lidah telah terpotong oleh pisau. Desas-desus
beredar, Mak Yun memotong lidahnya sendiri karena tak tahan. Ada pula
yang mengatakan: Ini pastilah azab dari Allah karena Mak Yun senang
meng-ghibah aib orang. Entahlah.
.
2. Lidah yang Bercerita tentang Jurai
“Ebak-mu telah mati.” Itulah kata-kata Emak yang ia ucapkan
di pagi kelabu padaku, berpuluh tahun lalu itu. Kata-kata yang dulu tak
mampu kuurai masalahnya. Kata-kata yang telah menobatkanku sebagai yatim
sejak saat itu. Dan, pikiran kanak-kanakku tak peduli. Hingga kelak,
aku membenci kematian itu. Kematian yang membuatku merasa lelaki itu
seorang pengecut, seenaknya mati dan meninggalkan kami dalam belitan
hidup yang rumit.
Kata orang-orang, Emak-lah penyebab kematian Ebak. Emak
menyambangi dukun ilmu hitam di dusun seberang dan memintanya merajam
lelaki pengecut itu dengan ilmu setan. Hah? Asal saja mulut orang-orang
menganga! Tidak tahukah mereka kalau perempuan kampung berkulit legam
itu sangat mencintai Ebak? Berkali ia bertaruh nyawa,
memerahkan paha, mengejankan anak-anak si lelaki pengecut. Kalau bukan
cinta, disebut apa itu? Pun ketika si lelaki pengecut itu menikam
jantungnya dengan sebuah pengkhianatan. Pengkhianatan yang membuatnya
tak bisa menangis lagi sejak itu sampai sekarang dan pun ketika lelaki
itu mati di pagi kelabu.
“Lantaran Ebak-mu kawin lagi, itulah yang membuat emakmu merajamnya.”
Mungkin ada benar apa yang dikatakan orang-orang itu, tapi aku tetap tak percaya bila kematian Ebak disebabkan Emak. Emak (mungkin memang) membenci pengkhianatan yang dilakukan Ebak. Siapa pula tak perih ketika lelaki yang ia cintai tiba-tiba mengkhianatinya. Ebak
tergoda janda dusun tetangga. Janda gatal, bermuka tak lebih elok dari
Emak. Apa pula yang lelaki itu cari pada janda tak tahu diri itu? Hah,
sudah pasti hanyalah masalah birahi!
Perihal Emak dan Ebak-ku inilah yang membuat orang-orang membicarakan jurai-ku.
Tentang sebuah takdir keturunan yang pasti akan diturunkan secara
temurun. Oi, memeningkan sekali orang-orang kampungku itu.Seenak perut
mengangakan mulut, membacakan takdir hidupku seolah-olah mereka telah
mengintip tulisan Tuhan terhadap hidupku di kitab Lauhul Mahfuz.
Mereka seolah telah berkongsi kalau mereka dapat menterakan takdir seseorang dari jurai-nya. Bisa jadi pula mereka telah membuat semacam kitab perihal ini.
Si Anu, bapaknya juragan getah karet. Berhidung mancung, kulit legam,
tukang kawin, rambut keriting dengan bibir tebal. Emaknya perempuan
nyinyir yang hobi berdandan, berhiasan seperti toko emas berjalan, tubuh
gembrot, dan suara serak karena ngoceh tak berujung-pangkal. Pastilah,
mereka akan bersepakat, si Anu ini akan jadi tukang kawin pula, hidup
foya-foya, dan pemalas. Tentu tak akan jauh-jauh dari
perempuan-perempuan nakal, arena judi, dan alkohol murahan. Begitulah
mereka menebak-nebaknya dan mereka pula mengaminkannya.
Itu pulalah yang orang-orang dusun bacakan akan nasibku. Ebak-nya
mati muda, berbini dua. Sedang emaknya perempuan berkulit legam yang
keras hatinya. Pastilah, ia akan mati muda pula. Doyan perempuan. Nah,
nah, tengoklah parasnya yang bulat sempurna seperti Ebak-nya,
tak bersisa, tak berbeda. Caranya berjalan pun persis sama, berjinjit
seperti jijik. Iih, pastilah ia akan mati muda dan berbini dua.
Sialnya, Ebak-nya Halimah, pacarku itu, mengaminkan pula omongan orang-orang dusun itu. Lantaran jurai ini pulalah, calon mertuaku itu menolak mentah-mentah niatku mempersunting anak perawannya.
Brengseknya, Halimah serupa gadis-gadis di dusunku. Tak berkutik akan apa yang Ebak-nya
utarakan. Seolah hendak berbakti atau mungkin pula Halimah mendadak
ngeri membayangkan akan kumadu, lalu menemukan diriku mati di pagi
kelabu, lantas ia menjadi janda seperti yang orang-orang ceritakan akan jurai-ku. Gadis pujaanku itu pun, tiba-tiba tak mau aku temui. Berkurung di dalam bilik, menghindar bila hendak kujumpai.
Inilah yang membuat aku membenci Ebak-ku, membenci
kematiannya, membenci perihal dirinya yang berbini dua. Lantaran semua
itu, membuat lidah orang sedusun Tanah Abang menceritakan betapa buruk jurai-ku.
Seolah-olah, lidah mereka yang menuliskan ceritakan tentang hidup dan
matiku. Aku benci, benar-benar benci mendengar lidah-lidah itu bercerita
tentang jurai-ku.
.
3. Perang Lidah Tukang Cerita
Perang lidah dua tukang cerita di kampungku ini telah berlangsung
lama. Sangat lama malah. Orang-orang pun mulai lupa, kapan tepatnya
perseteruan memuakkan itu dimulai? Siapa yang menabuh genderang duluan
juga tak diingat orang-orang? Pertempuran itu kembali hangat diingatan
orang-orang petang Ahad kemarin.
Duel lawas itu dihangatkan di toko kopi Mang Sahlan, antara Cik Lam
dan Cik Mim, dua tukang cerita yang sesungguhnya begitu kami sukai.
Muasalnya dimulai ketika Mang Han yang memuji-muji Cik Lam, lantaran
tukang cerita bertubuh gempal dengan paras yang masih rupawan di usia
menjelang senjanya itu, baru-baru ini diajak Kades Lamit ke Muara Enim,
memenuhi undangan Pak Bupati untuk bercerita dan mengumpulkan
kisah-kisah rakyat yang hendak diarsipkan. “Oi, Mang, mekar hidung orang
Tanah Abang tengok Mang Lam ada di TVRI, duduk di kursi depan dan ditanya-tanyai.”
Cik Lam mengangkat sedikit dagunya begitu mendengar ucapan Mang Han,
lanang-lanang yang mencaungkan kaki di bangku kayu panjang toko kopi
Mang Sahlan itu pun berdengung-dengung. Menimpali kata-kata Mang Han,
kian kempas-kempis saja hidung mancung Cik Lam mendengar semua itu.
“Ceritakan, Mang. Apa yang ditanya-tanya Pak Bupati dan orang-orang
di Muara Enim, kita hendak dengar langsung dari Mamang,” pinta Mang
Jamik, yang diaminkan lanang-lanang lainnya.
Cik Lam menegakkan dadanya, baru saja mulut lelaki itu hendak berucap, mendadak saja Cik Mim menyambarnya.
“Haii, baru ke Muara Enim diundang Bupati, lagaknya. Hhmm…,” dengus
Cik Mim menarik sedikit bibir atasnya. Mata Cik Lam mendelik mendengar
ucapan Cik Mim barusan. Lanang-lanang di toko kopi Mang Sahlan saling
lempar pandang. Cari penyakit saja Mang Mim ini. Mungkin itu yang ada di
batok kepala mereka.
“Rupa-rupanya, ada yang iri lantaran tak terpilih oleh Kades.
Padahal, sudah berharap setengah mati. Bahkan kudengar, telah mengepak
pakaian, meminjam tas dari Sanuri,” kata-kata Cik Lam barusan langsung
mencabaikan muka Cik Mim. Hidung pesek lelaki kurus dengan rambut tak
terurus itu mendengus. Beberapa lanang mengaruk-garuk rambut yang tak
gatal melihat pertempuran yang pasti akan meledak.
“Oi, aku bukanlah tukang cerita yang suka pamer ke kiri-kanan,
bermuka empat belas, berlidah sembilan. Macam orang santun saja,
bermanis mulut di depan khalayak, di belakang ternyata suka mengumpat.
Aku telah banyak mendengar cerita tentang tingkahmu yang mengatakan
diriku di belakang. Sudahlah, Lam, tak usah sok suci kau di depan orang
sedusun.”
“Apa kau cakap?” geram “Apa kau cakap?” geram Cik Lam. Muka lelaki itu pun telah berubah saga.
“Oi, kalau tak merasa, tak perlu marahlah. Bila marah, berarti benar
apa yang kudengar,” Cik Lam tergagap mendengar kata-kata Cik Mim itu, ia
yang tadi berdiri dari duduknya pelan-pelan mendudukkan kembali
pantatnya. “Jaga lidahmu, Mim,” desis Cik Lam menahan geram yang
menggorok-gorok batang lehernya, menusuk-nusuk jantung-hatinya.
Dengungan keributan itu terdengar ke seantora dusun, diterbangkan
angin yang senang berbisik, dialirkan mulut-mulut yang tak dapat
dikunci. Hingga, berita pertempuran lawas yang tak kenal juntrung itu
pecah kembali hinggap di limas kami. “Kau dengarlah itu, Bujang,” ujar kajut-ku,
emak dari bapakku, yang tengah mengunyah sirih, “Kelak, bila kau
benar-benar telah jadi tukang cerita. Janganlah kau tiru tua-tua bangka
bau tanah tak tahu diri di tengah dusun itu.”
Aku mengeryitkan kening mendengar ucapan kajut-ku itu, apa hubunganku dengan para tukang cerita yang tengah berduel lidah di toko kopi Mang Sahlan itu?
“Seorang suka mencari-cari kesalahan yang lainnya lantaran iri
dengki, sebab merasa kalah sinar dengan yang lainnya. Seorang lagi suka
pamer sana-sini, membuat yang lain merasa tersisih. Sama-sama tukang
mengumpat di depan-belakang. Sayang saja, dua tua bangka itu tak
bercermin bersama-sama. Kalaulah meraka berkaca bersama, dapatlah mereka
tengok lidah keduanya sama saja, bercabang macam ular.” Aku senyap
dibuatnya. Sejatinya, aku menyukai cerita keduanya.
“Ingatlah, Bujang,” Kajut membetulkan susuran sirihnya,
“Bila ada perang dua tukang cerita. Tak usahlah kau jadi pendengar salah
satu atau pun keduanya, bila itu kau lakukan, alamat kau akan terseret
ke dalamnya. Lebih baik kau tulis saja cerita tentang mereka, biar
mereka sadar: alangkah memalukan yang mereka lakukan, mereka tak tahu
saja, lanang-lanang di toko kopi itu tengah mencibir mereka dan
mengolok-olok di belakang.” Aku tercenung mendengarnya. (Suara Merdeka, 8 April 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar