11 Mei 2010

Cerpen Mochammad Asrori: Istri


 Riak air kran berhenti, pintu kamar mandi terbuka. Wajah perempuan dengan semu pucat muncul, berjalan ke muka cermin. Sejenak mematut-matut diri di sana, dari depan, dari samping, lalu duduk. Tangannya menopang dagu, menatap wajahnya di cermin. “Apa aku terlihat gemuk?” katanya, “Aku pasti gemuk, bukan?”

Ia memutar posisi duduk menghadap ke ranjang, ke arahku. Wajahnya murung lucu. Aku tidak menanggapi, hanya tersenyum. Tapi itu malah membuatnya sewot. Ia berdiri dan mengambil tempat di bibir ranjang, di sampingku.

“Aku kegemukan, aku gemuk.”

Aku masih diam, bangun dari tengah ranjang dan duduk di sebelahnya.
“Aku kegemukan, aku terlihat gemuk,” rengeknya.
Aku belai rambutnya. “Aku mencintaimu,” bisikku sambil mengecup keningnya.
Itulah yang bisa kukatakan. Sejak beberapa minggu, tiap pagi ia muntah-muntah di kamar mandi dan mengeluh kegemukan. Mungkin ini yang dinamakan keanehan-keanehan yang bakal dialami perempuan hamil muda.dan berimbas pada laki-laki. Aku bakal punya anak. Jadi ayah.

* * *
“Sebagai istri saya paling tahu tentang Mas Bram, tentang apa kebutuhannya, tentang apa keinginannya. Apa yang mengganggu pikirannya, saya tahu benar. Tentang kondisi kesehatannya yang ia sendiri jarang perhatikan, saya tahu benar,” kata perempuan yang selalu tampak awet muda dan bugar dalam suatu diskusi.
“Saya sangat peduli terhadap gaya hidup sehat. Jadi segala sesuatu secara rutin terjadwal dalam agenda sehingga tiap waktu dapat saya isi dengan aktivitas yang menyehatkan badan,” tambahnya.

“Lalu apa rahasianya Jeng dapat tetap bugar, tetap terlihat segar. Yah, bagi-bagi tipsnya dong, Jeng?” tanya seseorang.

“Sederhana kok ibu-ibu, yang penting kita harus komitmen terhadap apa yang kita sudah konsep untuk diri kita. Jangan kompromi. Lima kali dalam seminggu saya rutin ke gym. Olahraga kardiovaskuler. Ibu-ibu bisa treadmill agar jantung dan pembuluh darah tetap prima,” jawabnya. Perempuan itu menebar senyum dan sikap anggun. Tubuhnya yang segar dengan tinggi 160 senti dan berat 50 kilogram tampak masih kencang dan sintal di usia empat puluhan.

“Selalu ada waktu untuk sehat. Lagi pula daripada terus di rumah atau pergi tanpa sesuatu yang jelas manfaatnya, mending ibu-ibu menjadwalkan waktu rutin untuk melakukan aktivitas yang sehat. Lagipula aktivitas itu dapat juga mengusir kebosanan lho ibu-ibu,”

Ibu-ibu terkagum-kagum melihat sosok di depan mereka. Mereka biasa menyapanya Jeng Bram. Jeng Bram yang enerjik, cantik, dan menggairahkan, walaupun telah berusia baya. Dan mereka dengan tekun mendengar perkataannya.

Di wajah Jeng Bram belum ada kerutan-kerutan tanda kejenuhan yang biasa dialami wanita seusianya. Kulitnya masih segar, sesegar remaja yang baru mengenal matahari pagi.

“Untuk menjaga berat, jangan lupa mengkonsumsi asupan yang cukup. Saya tiap pagi minum jus murni tanpa gula. Menu harian selain dari biasa saya tambahkan beras merah. Pelengkap makanan jangan dilupakan juga lima butir putih telur, dada ayam, sayur, dan buah. Itu kebutuhan dasar tubuh.”

Begitulah, waktu luang seusai acara seminar itu jadi ajang wawancara dadakan dengan Jeng Bram, saling tukar pengalaman. Sudah puluhan kali hal ini menjadi semacam rutinitas. Aku hanya bisa menengok jam tangan. Sudah semakin sore. Akhir pekan yang sama di tiap pekan.

Kadang jadi nyinyir juga mendengar puluhan kata yang merangkai satu tema tetap cantik, tetap awet muda, dan tetap mesra dengan keluarga. Kadang aku bisa menebak apa yang akan dikatakannya. ”Jika perlu minum suplemen dan satu sendok madu sehari supaya stamina tetap terjaga,” gumamku, menebak apa yang akan dikatakannya, tapi agaknya tidak. Atau belum, mungkin. Tapi pasti nanti juga keluar kata-kata tersebut.

“Hidup jangan dibebani dengan hal-hal yang kurang berarti, harus ikhlas. Sebagai ibu rumah tangga, juga wanita karir, kita harus mampu menikmati peran yang kita jalankan. Tidak mudah, tapi tetap suatu tugas mulia.”

Begitulah, dan ramah tamah berakhir, syukurlah. Tetap dengan senyum kami berdua pulang. Di dalam mobil senyumku kehabisan energi. Hahh, napas panjang terlepas, suntuk mulai menjerang. Tapi istriku tetap saja tersenyum. Well, begitulah perempuan superku, seperti tak kenal lelah, tak kenal menyerah.

Di tengah perjalanan pulang, isteriku masih sempat mampir ke swalayan depan perumahan, membeli ini itu untuk menu nanti malam. Semua tampak wajar, atau memang wajar. Setelah belanja kami pulang. Ia langsung membuka belanjaan dan memasukkannya ke pendingin tanpa memanggil si Imah, pembantu kami.

“Papa ingin menu apa untuk malam nanti?”

“Apa aja deh, Ma,” jawabku malas.

Aku langsung masuk kamar tidur, menggantung jas dan kemeja. Gerah. Masuk ke kamar mandi. Kucuran air di kepala membuat segala hal tampak dengan cerah muncul. Pria paruh baya dengan istri yang cantik, segar, dan menggairahkan. Seluruh mitra kerja memuji-muji istriku. “Wah beruntung sekali Mas Bram, punya istri yang tetap prima, seperti punya istri yang tetap remaja terus. Pantas Mas Bram tetap panas!” itu selalu kata mereka. Mereka lalu menghubung-hubungkan dengan ungkapan yang populer, yang saat ini juga memerangkap di lidahku: Hidup dimulai di usia 40. Yah, menilik pencapaian kesuksesan, mungkin itu benar. Tapi yang utama sebenarnya di usia 40 pemikiran seorang pria mencapai puncaknya. Rasionalitas di titik tertinggi.

Kusambar handuk, mengelap wajah dan tubuh di depan cermin. Sambil mengeringkan rambut, kusentuh wajahku, mulai tampak alur kerut di sana. Aku segera tinggalkan cermin. Keluar dari kamar mandi, berganti pakaian dan keluar kamar. Istriku masih sibuk membaca majalah. Aku tidak heran, semuanya sudah terjadwal bagi istriku. Membaca adalah sarananya agar otak tetap stabil bekerja, tetap gaul. Sore seperti ini istriku membaca majalah, malam sebelum tidur ia membaca novel. Aktivitas membaca sore hanya akan absen tiap malam Minggu dan hari Minggu. Ia menjadwalkan yoga, pilates dan spa di hari tersebut.

Aku mendekatinya. Dari belakang kupegang bahunya. Ketika menoleh kucium keningnya.

“Papa mau ke mana?”

“Ada urusan sebentar, nanti sebelum makan malam Papa sudah pulang,” jawabku.
“Besok sore jangan lupa antar Mama ke toko buku cari novel?”

“Oke, Papa pergi dulu,” kucium lagi kening istriku lagi.

Aku melaju di atas mobil menuju pusat kota, ponselku beberapa kali berdering. Aku tidak mengangkatnya. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan ini. Berdebar-debar. Aku punya dua anak yang sudah besar. Keduanya duduk di bangku kuliah dan aku sudah jarang ketemu. Ponselku berdering lagi, kali ini kuangkat, ”Sebentar, Mas masih dalam perjalanan.” Kudengar rengekan kecil di sana. Aku tersenyum mendengar ancamannya dari seberang telepon.

Kubayangkan riak air kran yang deras dan debur kecipak air dari dalam kamar mandi. Dan agak lama setelah pintu kamar mandi terbuka. Wajahnya yang manis dan menggairahkan dengan semu pucat muncul, berjalan ke muka cermin.

Bisa dipastikan untuk beberapa saat selalu saja mematut-matut diri di sana, dari depan, dari samping, lalu duduk. Berdiri lagi seakan-akan ingin meyakinkan lagi. Mematut-matut bayangannya. Tak sungkan menggusur handuk yang menutupi tubuh ke lantai. Cemberut wajahnya menatap cermin lagi, dan aku dapat menerka apa yang akan kau katakan dalam bayanganku ini, selalu saja, “Apa aku terlihat gemuk? Aku pasti gemuk bukan?”

Aku yang masih diam. Biasanya ini membuatnya tambah sewot, dan hanya mengulang lagi, “Aku kegemukan, aku terlihat gemuk.”

“Aku mencintaimu,” bisikku sambil mengecup keningnya.

Dan bayangan itulah yang selalu hangat kurindukan. Sejak beberapa minggu tiap pagi kau muntah-muntah di kamar mandi dan mengeluh kegemukan. Sudah lama sekali aku tidak merasakan perasaan seperti ini, dibutuhkan sebagai laki-laki, sebagai suami. Istriku cantik, tetap menarik dan menggairahkan di usia seusiaku. Tapi bersamanya, perempuan lain yang bakal memberiku posisi sebagai ayah lagi sungguh menjadi energi tambahan yang kuat. Sekarang aku coba mengeja apa-apa persiapan menjadi ayah: Mengantarnya ke dokter, senam kesehatan ibu hamil, atau belanja keperluan bayi.

Aku belokkan mobil ke arah deretan rumah sederhana yang apik. Berhenti di rumah nomor 33. Saat aku turun dari mobil, pintu pagar sudah terbuka dan perempuan itu, yang baru kubayangkan, dengan senyum yang sedikit kesal menyambutku. Perempuan yang mengingatkanku kembali sebagai laki-laki. Dan untuk malam ini, lagi, seperti beberapa malam sebelumnya, aku tidak dapat pulang tepat sebelum makan malam.

Surabaya, Mei 2006

Tidak ada komentar: