17 Juni 2012

Catatan Perjalanan ke Avontur


Hari senin 11 Juni 2012, saya mendapat telpon dari seorang sahabat, intinya meminta saya untuk melakukan perjalanan ke Avontur, negeri puisi milik Ragil Sukriwul. Saya beranikan diri untuk menyanggupi apa yang dimintanya walaupun dalam hati saya berpikir, apa sangu saya cukup untuk dolan ke Avontur? Jangan-jangan nanti tidak mencukupi dan saya harus nggembel disana dan pulang ngesot. Saya berpikir begitu karena sahabat itu, setelah memberi tiket secara jelas ngomong, “Saya tunggu oleh-oleh dari Avontur.”

Keesokan harinya dengan bekal seadanya saya bergegas terbang ke avontur. Di jok pesawat, sebelum menginjakkan kaki di avontur, saya teringat dua hal: Pertama, puisi diciptakan untuk mengabdikan pengalaman tertentu, yaitu pengalaman estetik yang menjadi penghayatan penyairnya.


Kedua, puisi diciptakan sebagai upaya pencarian bentuk pengucapan puitik tertentu dari pengalaman estetik yang menyentuh penghayatan penyairnya. Jadi demi melihat dalam brosur bahwa saya akan menjelajahi 53 kota puisi yang ditulis dalam rentang waktu 11 tahun, mulai 1999-2010, saya berasumsi bahwa akan banyak menemui beragam peristiwa semesta, kehidupan, dan manusia yang menghidupi puisi menjadi bangunan-bangunan kesaksian. Akan banyak kemungkinan, kemenduaan, dan keremangan makna yang di tawarkan di dalam kota-kota puisi tersebut. Benarlah.

Maka saat tiba kembali di rumah dengan selamat, saya lalu berusaha memilah oleh-oleh dari perjalanan singkat berkeliling Avontur dan meletakkanya ke dalam empat kardus. Bukan hal yang mudah bagi saya, karena kardus yang saya punya tidak terlalu besar. Empat kardus itu lalu saya kirimkan kepada sahabat saya. Tapi jika sahabat lain ingin melihatnya, mari kita buka bersama. 

Membuka kardus pertama. Isi kardus  pertama merupakan kesan saya pada bangunan-bangunan kata berkonstruksi tugu, dimana puisi bertindak sebagai landmark penanda keberadaan. Sebagaimana tugu maka barisan kata-katanya terasa tegas mengatakan “inilah aku”, semacam pernyataan sikap penyair pada dunia ide yang dihidupinya, hal ini bisa dilihat diantaranya;
o  dalam atmosfermu, janinku/ dibawah langitmu, lahirku/ bersama pelukan hutanmu hidupku/ (Bundaku Pertiwi)
o  aku, perempuan/ walau hati tak utuh/ selalu bisa hidup// dengan kenangan// (Hikayat Cinta Sari)
o  kita adalah anak nusa yang disemai debu tanah kering dan/ lambaian rumput rumput coklat/ di teduh sela julang karang karang/ (Sajak Kepada Kawan)
o  masih aku disini tetap/ mengulum ribu duka gersang/ jadi pisau yang merobek cadar dendam// (Kepada Ibu)

Implikasi dari bangunan-bangunan tugu kata ini, selayaknya kita sedang menyatakan suatu sikap pada kondisi persoalan tertentu, maka secara tidak langsung akan memunculkan dua kubu, satu kubu yang idenya dihidupi oleh penyair dan kubu lain yang berseberangan dengan sikap penyair. Hal itu kemudian membuat puisi berkembang menjadi dua arah, satu arah ke puisi-puisi yang bernada justifikasi (penghakiman, seruan, menyimpulkan secara sepihak), seperti:
o  namun siapa pintar menghindar/ batu batu waktu yang liar terlontar/…. Lelaki payah ini terjerat lelap/ tidur bayi di ketiak mama/ tanpa punya nyali sedikitpun/ asyik menyusu/ dongengan kata kata// (Pengecut)
o  kenapa bukan “pukimai kau”/ yang kita teriakkan/ untuk warna bendera yang cuma mengabarkan/ banjir darah dan kibar kafan/ buat saudara sendiri// (Tentang Kemerdekaan)
o  kita memang tidak akan pernah bisa/ melepas semua arketip yang telah mengakar dalam otak dan pembuluh darah// (Pergi)
Dan arah lain ke puisi yang bernada self correcting (pembenaran sikap, pembelaan pribadi), seperti:
o  aku tersesat/ dan bunyi jarum angin yang patah/ menyadarkanku/ takkan lagi pernah menyesal/ berlari dalam gelap// (Lost)
o  cukup aku di pojokkan/ ini mencatat setiap yang lewat/ dalam sajak// (Diantara yang Datang dan Pergi)
o  katup bibirku disangka cerca/ kata nada mulut kira maki/ kapan kau kan tenang bila/ kepala masih penuh hujat/ (Berontak 1)
Dua arah implikasi ini kemudian menjadikan dua kontradiksi muara, satu menjurus pada puisi pamflet, dan satunya menjurus pada puisi kamar, walaupun kemudian tidak sepenuhnya jatuh pada puisi yang penuh nada geram, meledak-ledak, dan tergesa-gesa bicara persoalan besar dan puisi yang sendu, cengeng, dan penuh ratapan.
  
Membuka kardus kedua. Isi kardus ini, kesan yang saya perhatikan adalah bangunan-bangunan kata berkonstruksi taman. Beberapa puisi dalam kardus ini diantaranya:
o  pertama di kota lama terperangkap enggan karena rindu/ menabrak pupuran wajah beton. Dongeng tua beku digincu/ lama membayang mati dirambat kebusukan/ baunya sesak di udara…/ (Di Kota Lama)
o  gerimis itu melagukan duka/ dengan begitu lembut. dalam menggasak tulang/ menggilapkan ngilu luka.// hujan di sini adalah simfoni tua/ yang mengalun sepi, tipis melaras// (Simfoni Hujan)
o  basah dinding bata membacamu saat/ duka/ terbata-bata meresap kala/ sampai di lalu waktu/ merontok rambut-rambut batu/ dalam patahan debu yang menghambur diantara/ dengung tarian doa doa/ (Di Malam Tahlil)

Puisi-puisi tersebut tidak ingin menonjolkan apapun, tidak menghidupi ide tertentu atau pernyataan tertentu, hanya menjelma suatu tempat dimana kita bisa memandang searah dengan apa yang dipandang penyair, duduk sekursi dengan penyair, merasakan desir angin yang sama dengan penyair, mendengar nada yang sama dengan penyair, hingga suasana batin kita selaras dengan suasana batin penyair. Itulah mengapa kita bisa (juga biasa) mengatakannya sebagai puisi-puisi suasana.

Namun diantara puisi-puisi taman ini walau tak menghidupi ide tertentu, terkadang juga memiliki kekuatan untuk mengubah pandangan hidup pembaca untuk bersikap lebih arif dan bijak dalam hidup, lebih menyadari hakikat hidup di dunia yang fana. Penyair berusaha membungkus kearifan melalui anyaman bait-bait akhir puisi, seperti:
o  membaca hidup, seperti sekedar berputar/ dari gerak, panas, basah dan/ mencari iyupan// (Menunggu Hujan)
o  di puncak sendiri/ kumemejam harap/ dan tak ingin apa apa lagi/ selain mendatangimu lebih dekat// (Di Puncak)
  
Membuka kardus ketiga. Kardus ini tempat saya letakkan kumpulan  artefak diksi. Semoga tidak saling gencet dan lecet. Saya tidak bisa merasakan kekhususan diksi yang dapat saya tangkap sebagai latar yang menghidupi penyair, karena dalam Avontur kita dibawa ke banyak lanskap, katakanlah; langit, gelap, gersang tanah, batu karang, beton, rumput coklat, air bah, matahari, hujan, rakit bambu, pagar tembok, besi teralis, uba rampe, pinang-pinang kering, rimbun tembakau, kompleks perumahan, riuh pelabuhan, dehidrasi, kutu loncat, daun bonak, dll. Metafora-metafora yang terjalin begitu beragam, sehingga kita tidak bisa mengambil simpulan seperti halnya ketika membaca puisi-puisi Abdul Hadi WM dengan metafora laut atau Afrizal Malna dengan metafora kebendaan. Rasanya disadari juga oleh penyair dengan memilih Avontur (yang berarti pertualangan) sebagai judul, semacam cara aman (efektif) untuk menarik benang merah dari serakan puisi yang dimiliki penyair selama 11 tahun.

Selain itu, saya merasakan ketidakstabilan pergerakan kepadatan puisi dan gaya pengucapan. Pergerakan ini menandakan bahwa penyair selama 11 tahun ini masih terus berproses dalam menemukan bentuk pengucapan puisinya. Dalam Avontur, saya membaca puisi-puisi yang bertitimangsa awal cenderung lebih padat dan sublim, sementara puisi-puisi yang lebih akhir tahun penciptaannya cenderung lebih longgar dan vulgar (misal Pesan Terakhir Pelacur buat Si Hidung Belang, Sajak Galau, To’o Kas Be Doi Do, Matahari Hijau, dan Mari Katong Ba Togo). Puisi-puisi yang longgar ini terjadi karena penyair memilih model dramatik, model penceritaan dialogis dengan tema-tema kritik sosial dan balada. Untuk puisi kritik sosial sebenarnya saya lebih suka gaya satire milik Agus R. Sarjono dalam Cerita dari Negeri Angin. Sebagai contoh adalah puisi Catatan Harian Diam-Diam yang tertulis:
o  aku pun bersiul/ sungguh aku ingin berpuisi/ tentang embun cahaya di sela daun/ dan ombak yang berdebur pelan/ di pasir pantai/ tetapi terlalu banyak yang harus kutandatangan. Aku pun tahu/ beberapa diantaranya adalah nasibmu. Maafkan/ kesibukanku yang selalu bikin aku asing/ dan lupa padamu. Kudengar engkau berbahagia menjalani hari-hari cinta/ makan sepiring berdua/ berjoget riang di gubuk derita. Ada juga air mata/ yang berpesta//
 
Bandingkanlah dengan Puisi Peringatan karya Wiji Thukul berikut:
o  apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/ dituduh subversive dan mengganggu keamanan/ maka hanya ada satu kata: lawan//

Gaya Agus R Sarjono adalah pukulan keras tanpa gerakan, Wiji Thukul adalah perlawanan frontal, sedang puisi-puisi yang bernada kritik sosial di dalam avontur berkecenderungan berada di tengah, masih setenga hati untuk membuat efek menyakitkan atau memuakkan, juga masih lunak untuk membuat sugestif dan impuls perlawanan. 

Membuka kardus keempat. Kardus ini berisi temuan-temuan kecil pada beberapa puisi. Pertama, masih digunakannya gaya tipografi dalam beberapa puisi. Tipografi puisi sendiri kita kenal sejak presiden penyair Sutardji CB, semacam puisi Sinka dan Winkah. Hal ini agak membuat tanda tanya, karena puisi tipografi tersebut berada diantara mayoritas puisi flat. Saya rasa jika kepentingannya hanya sekedar penekanan dan tidak ada makna lain yang ingin dicapai mungkin bangunan tipografi (seperti dalam puisi Menggambar Bulan dan Di Kahayan, walau tidak mencolok juga terdapat pada puisi Diantara yang Datang dan Pergi, Berontak 2, Aku Telah Pasti, Di Malam Tahlil, Pengecut, Malam Penyair dan Mainannya) tersebut kurang diperlukan. Kedua, ada beberapa puisi dalam buku Avontur yang berupa puisi tematik. Puisi yang ditulis dalam rangka tuntutan untuk menulis puisi bertema tertentu, untuk mengenang/mengabadikan peristiwa tertentu. Puisi-puisi tersebut misalnya Ina-Ama Umbu-Rambu dan Tentang Kemerdekaan. Puisi ini biasa lahir dari itikad pertanyaan: Aku harus menulis puisi tentang ini! Hal ini berbeda ketika kita menulis puisi yang lahir dari itikad merasa dan berempati dimana faktor internal yang menaungi jauh lebih besar dari faktor eksternal yang menggerakkan, karena jika tidak hati-hati hanya akan tergelincir menjadi puisi berita dan pamflet.

Nah, kiranya hanya itu oleh-oleh yang bisa saya berikan dari perjalanan ke Avontur. Semoga bisa menarik sebanyak mungkin orang untuk berkunjung juga ke Avontur. Salam.

Tidak ada komentar: