AKU mulai sering mengun jungi Café Imperial sejak
aku pindah ke apartemen temanku Hernando Salcido, sebuah apartemen yang
luas berperabot lengkap di Jalan Jesús y María yang akan menjadi milikku
selama sebulan penuh karena temanku, istrinya, dan anak perempuannya
sedang menikmati liburan musim panas di rumah pantai keluarga mereka di
Fuengirola.
Aku mulai mengunjungi Café Imperial pada siang yang sama saat aku
memindahkan barang-barangku ke apartemen Hernando dengan harapan bisa
memiliki tempat yang leluasa dan cukup layak untuk tidur dengan Rita
Mena yang penuh gairah.
Ia kekasih yang demi tubuhnya aku rela pergi
dari San Salvador ke Madrid lima belas hari lebih awal—kami tak bisa
menikmati hak yang diberikan Tuhan kepada kami untuk bercinta dengan
suasana penginapanku yang kumuh atau di samping wanita Venezuela teman
seapartemen Rita dekat Entrevías yang selalu ingin tahu sehingga membuat
kekasihku itu malu.
Aku mulai kerap mengunjungi Café Imperial beberapa jam setelah Rita
Mena dan aku mulai tinggal di kediaman temanku Hernando tempat kami
bercinta di atas sofa dan kursi di apartemen yang menyenangkan itu. Dan
dari balkon lantai empat, dengan tenaga lemas tapi penasaran seperti
kanak-kanak, kami memandangi atap rumah-rumah tetangga di kawasan
Lavapiés, merasa lega karena teman baikku Hernando telah memasang AC
yang membuat kami bisa leluasa bermandi keringat selama sebulan sampai
musim panas usai.
Namun, karena Rita Mena datang ke Madrid demi studinya—ia pindah ke
kota ini untuk mengambil master dalam ilmu jurnalistik—maka aku
memutuskan untuk pergi berjalan-jalan saat dia pergi ke kampusnya. Aku
mengamati lingkungan sekitar, menjelajahi bar-bar tua, serta mengunjungi
pasar yang dipenuhi pedagang pakaian dan kafe terbuka yang bertebaran
di dekat pintu masuk stasiun kereta bawah tanah Tirso de Molina.
Merasa gugup oleh tatapan liar wanita-wanita cantik berpakaian minim
ditingkahi hawa panas menyengat, aku mendapati diriku berada di Café
Imperial, sebuah tempat yang pernah kukunjungi tapi lalu segera
kutinggalkan setelah melihat harga-harga minumannya. Kini aku
memasukinya hanya karena aku membutuhkan pendingin ruangan dan bir
dingin yang menyegarkan. Tempat ini padat oleh turis. Tak lama setelah
aku duduk dengan sebotol bir di tangan, mataku langsung tertuju pada
seorang pelayan wanita yang tiba-tiba, tanpa diduga, menjadi sasaran
gairahku—sejujurnya, itu bermula saat aku melihat gadis ini ternyata
mengenakan rok mini berbahan denim yang memamerkan sepasang kaki padat
tapi indah, serasi dengan bokongnya yang berbentuk sempurna.
Kutenggak birku dalam satu tegukan sementara aku mengamati dengan
teliti lengan putihnya yang sebagian tertutupi rambut cokelatnya yang
tergerai. Gadis ini mendekatiku, membalas tatapanku dengan mata
hijaunya, dan godaannya membuatku harus memesan sebotol bir lagi.
“Namanya Marina,” kata bartender.
Aku pindah ke kursi yang berada di sebelah tempat ia mengambil minuman sebelum mengantarnya ke meja-meja pelanggan.
Namanya Marina, berasal dari Córdoba, umurnya dua puluh lima, dan di
sini dia sedang belajar drama. Dia suka lakon Tennessee Williams dan
Arthur Miller walaupun dia belum pernah ke Amerika, ujarnya kepadaku
pada perjumpaan pertama kami saat aku menghabiskan bir dan memanfaatkan
kesempatan saat dia melintas ke bar—nampannya penuh gelas dan cangkir
kotor—untuk melemparkan pertanyaan yang selalu dia jawab sambil
berjalan, bekerja, dan mengerling genit seolah-olah dia tahu kegugupan
yang menderaku dan tak dapat kusembunyikan hingga tiba saat aku harus
pergi karena Rita Mena akan segera tiba di apartemen teman baikku
Hernando.
Aku berjalan menyusuri jalan Jesús y María sambil bergumam kepada
diri sendiri dan mendapati cinta sejatiku sedang membunyikan bel
apartemen terus-menerus. Lalu, bergegas kami pergi ke atas dengan tas
berisi pakaian yang ia bawa pindah ke sarang cinta kami. Kami pun mulai
saling bercerita apa yang telah kami lakukan selama beberapa jam kami
berpisah. Tentu saja aku tidak menyebutkan bahwa aku telah menghabiskan
siang itu bersama Marina dari Córdoba. Aku hanya menyinggung secara umum
tentang siang yang malas dan kegiatan minum-minumku lalu mulai mencari
tahu apa yang Rita Mena lakukan dengan teman-temannya, terutama si
lelaki Argentina bernama Lorenzo.
“Kau mulai lagi,” protesnya dengan nada yang hanya menegaskan
kecurigaanku bahwa wartawan Argentina sialan itu sangat menarik bagi
gadis yang demi dirinya aku telah menyeberangi Samudra Atlantik dan
kepada siapa aku berharap bisa melanjutkan hubungan selama tabunganku
yang sedikit masih tersisa, atau setidaknya hingga ketertarikanku
kepadanya mulai pudar.
Rasa haus membuat kami malam itu melakukan ritual yang akan terus
kami ulangi selama sebulan rencana kami tinggal di apartemen teman
baikku Hernando. Bar El Tio Vinagre dan Móntes adalah tujuan semula saat
kami keluar seraya mengamati setiap lubang di dinding sekitar
apartemen. Namun, akhirnya kami terdampar di Café Imperial. Kami menuju
bar melintasi keramaian, asap tebal, dan suara riuh orang
bercakap-cakap. Saat itulah aku menghampiri Marina dari Córdoba yang
menyapaku dengan ramah walaupun tengah sibuk, meninggalkanku dengan
seulas senyum tolol di wajahku yang diprotes oleh Rita Mena.
Malam itu, saat kami terbaring dengan kaki saling menyatu, kelelahan
setelah menikmati tempat tidur temanku Hernando yang berukuran besar,
atas desakan Rita Mena, kuakui bahwa aku berhasrat terhadap Marina dari
Córdoba. Setelah mendengar pengakuanku, Rita Mena pun akhirnya mengakui
bahwa ia memang berhasrat terhadap si wartawan Argentina bernama Lorenzo
kawan kuliahnya. Aku menjelaskan bahwa aku tidak berniat berselingkuh
dengan Marina dan Rita Mena menimpali bahwa ia pun tidak punya rencana
semacam itu dengan teman kuliahnya. “Tapi, walaupun kau lima belas tahun
lebih tua dariku, aku punya hak untuk tahu seperti apa rasanya bersama
orang lain,” tambahnya.
Pada siang keduaku di Café Imperial, aku berbicara lagi dengan Marina
yang kini memperlakukanku seperti teman lama dan mengajukan pertanyaan
demi pertanyaan tentang negaraku, sebuah negeri yang tak pernah ia lihat
dan tak terbayang baginya seperti apakah hutan belantara yang disebut
Amerika itu. Dia juga bertanya apakah “gadis cantik”—begitulah dia
menyebutnya—yang datang bersamaku malam sebelumnya adalah kekasihku dan
apakah dia juga berasal dari Amerika. Pada saat itulah aku mengetahui
bahwa Marina ternyata tinggal—kebetulan sekali!—di plaza Tirso de
Molina, hanya selisih dua lorong dari apartemen teman baikku Hernando.
Dan pada malam kedua itu, saat aku dan Rita Mena memasuki Café
Imperial, Marina dari Córdoba sedang mempersiapkan minuman di belakang
konter. Untuk menyambut kami, ia membawakan kami dua gelas bir. Dengan
genit wanita menggoda itu tersenyum tidak hanya ke padaku, tapi juga
kepada Rita Mena, yang sedikit lebih banyak bicara daripada biasanya.
Kemudian, kulihat mereka terlibat pembicaraan yang tidak bisa kuikuti.
Terlintas di benakku bahwa ada ketertarikan tertentu di antara mereka
yang membuat anganku jadi kacau. Dugaanku itu dibenarkan Rita Mena saat
kami dengan mabuk menyeberangi plaza yang menghadap apartemen Marina
dari Córdoba.
.
MALAM selanjutnya, saat tubuh Rita Mena bersentuhan
dengan tubuhku, aku bertanya apakah ia ingin melakukannya bertiga dengan
Marina dari Córdoba untuk selingan bagi rutin kami. Dia bilang bahwa
dia lebih ingin melakukannya bertiga dengan si lelaki Argentina, sebuah
jawaban yang bagiku tak masuk akal. Lalu kujelaskan kepadanya, dia dan
Marina sudah saling kenal dan saling suka, sedangkan aku tidak punya
sedikit pun rasa suka kepada lelaki Argentina itu. “Tak apa, kalian
tidak harus bercinta. Hanya denganku,“ ujar Rita Mena sebelum ia
mendesah saat meraih puncak asmara.
Esok paginya, saat kami memasuki Café Tirso de Molina untuk sarapan,
kebetulan kami mendapati Marina sendirian di meja. Sepertinya ia baru
saja bangun tidur, pakaiannya kurang bagus, dan ia tengah serius membaca
koran. Aku berjalan ke arahnya, ia menatapku dan berkata, “Senang
melihat kalian.” Namun, sesungguhnya kamilah yang merasa senang,
terutama aku, karena takdirku memberiku pertanda baik. Kami lalu
mengobrol sambil minum kopi. Bertentangan dengan penolakannya semalam,
Rita Mena membujuk Marina untuk pergi bersama kami malam itu sebab
Marina libur. Kami sepakat untuk bertemu di Bar Montes pada pukul
sembilan malam.
Kenyataan bahwa Rita Mena telah mengambil inisiatif mengajak Marina
pergi berkencan dengan kami menggangguku seharian. Pikiranku bahwa
motifnya berteman dengan gadis yang ingin kutiduri tidak sejelas motifku
membuatku bertanya-tanya apakah ini strateginya untuk merusak
rencanaku. Hal itu kukatakan kepadanya saat aku berjalan ke Bar Montes
pada pukul sembilan malam dengan pakaian rapi dan gairah menegang.
Kuperingatkan Rita Mena dengan tegas bahwa dia tidak usah berpikir bahwa
jika kami berhasil berkencan bertiga dengan Marina dari Córdoba malam
itu, aku akan mau melakukan hal yang sama dengan temannya, si lelaki
Argentina.
Malam itu sangat menyenangkan. Kami mampir untuk minum di setiap bar
di sepanjang jalan Argumosa. Rita Mena dan aku menceritakan kisah kami
dari daerah tropis yang menarik bagi wanita awam seperti Marina dari
Córdoba, sementara ia menceritakan kisah cintanya dengan pelayan bar
yang kini membuatnya patah hati. Namun, tiba-tiba Marina dari Córdoba
dan Rita Mena telah memasuki dunia mereka sendiri yang penuh kerumitan
dan simpati. Aku tak mampu ikut serta di dalamnya. Aku jelas tidak dapat
terlibat dalam keintiman penuh istilah khusus dan perjalanan rahasia ke
wilayah batin para wanita.
Saat kami hendak beranjak menuju Café Imperial, mereka memintaku
untuk pergi dahulu—sampai ketemu, Sayangku!—mereka akan mampir dulu ke
apartemen Marina dari Córdoba untuk melakukan urusan perempuan, kata
mereka dengan kekompakan dan rasa percaya diri yang tak dapat kubantah.
Aku tiba di Café Imperial dan menenggak birku sendirian. Setelah
beberapa waktu, aku sadar pastilah mereka tidak akan muncul malam ini.
Rupanya Rita Mena yang cabul telah mengerjaiku dengan cerdik dan
mencopet Marina dari Córdoba dariku.
Aku tidak punya pilihan lain selain pulang dengan kekalahan ke
apartemen teman baikku Hernando, tetap dengan ilusi bahwa saat fajar
tiba mungkin gadis-gadis itu akan membunyikan bel dan bergabung denganku
di ranjang. Sementara itu, di atas ranjang besar ini kini aku tak bisa
tidur. (*)
(Koran Tempo, 22 April 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar