27 Mei 2013

Esai Novel Panglima Perang Karya Hardjono W.S: Menyelam ke Dunia Pewayangan (Bagian 1)

Saat pertama kali menjadi warga Mojokerto, saya yang gemar menulis—di ranah fiksi—secara tidak langsung mengetahui beberapa nama-nama penulis yang ada di kota Mojokerto. Sejatinya, menurut saya, sosok Hardjono W.S  dan Jatidukuh  dalam lingkup pengaruhnya di dunia kepenulisan sudah seperti  Pram dengan Bojonggede, Rendra dengan Bengkel Teater di Cipayung, Suripan dengan Bendulmrisi, atau Golagong dengan Rumah Dunia di Serang.

Kesetaraan yang saya buat antara Hardjono W.S dengan nama-nama di atas adalah kesetaraan dalam hal kesetian seorang penulis untuk tetap menulis hingga sejarah kepenulisannya membumi dengan wilayahnya, menjadi sebuah bangunan yang tak terlihat namun nyata adanya. Sehingga di ranah kepenulisan, saat kita menyebut Jatidukuh maka sosok beliaulah yang muncul, persis sama saat kita otomatis terlintas sosok Pram saat menyebut Bojonggede atau Golagong saat kita menyebut Rumah Dunia.

Walau ada sebagian orang yang menyatakan bahwa novel-novel Hardjono W.S adalah novel yang easy going (memotret kehidupan orang-orang yang sederhana, mengalir semata) dan bukan novel yang sarat problematika yang sublim dan pelik. Saya rasa itu hanya pilihan menulis, pilihan untuk memilih dunia mana yang ia ingin hidupkan dalam tulisan. Jadi bukan masalah kapabilitas, sama seperti pelukis yang akhirnya memilih kecenderungan aliran lukisannya. Bukankah novel beliau, Titik Akhir, memperoleh penghargaan dalam kompetisi menulis novel di Harian Suara Pembaruan? Lagipula penulis mana yang tidak iri dengan pencapaian 20 judul buku yang telah ditulisnya. Hardjono W.S merupakan salah satu sosok langka, karena pada diri penulis bila ingin berkata jujur tiap hari selalu bergelut dengan usaha agar api kepenulisannya tidak padam.

Ada yang mengatakan jumlah karya bukanlah ukuran, tapi kualitas karya yang utama. Namun untuk penulis yang baru meretas jalan kepenulisan, rasanya perlu mencermati selorohan penulis 35 novel best seller asal Amerika, Stephen King, saat ia tak habis pikir pada Harper Lee yang hanya menulis satu buku hebat To Kill a Mockingbird, atau penulis lain yang menulis kurang dari lima buku dalam karirnya, pertanyaannya: berapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk menulis buku yang benar-benar mereka tulis dan apa yang mereka lakukan dengan sisa waktunya? Sekarang coba kita hitung dengan jari, penulis fiksi di Indonesia yang karyanya melebihi 20 judul. Sekedar menyebut saja, Seno Gumira Ajidarma (25 judul), Sapardi Djoko Damono (16 judul), Taufik Ismail (11 judul), Ayu Utami (10 judul), Budi Darma (9 judul), Joko Pinurbo (8 judul), dll.

Menjadi penulis yang sarat kualitas tentu tujuan utama, tapi lebih utama lagi menjadi penulis yang berkualitas dan produktif . 

Kesan Terhadap Novel Panglima Perang

Saat pertama kali ditawari dan lantas disodori  novel Panglima Perang saya tidak menyangka sama sekali bahwa yang akan diberikan kepada saya adalah sebuah novel dunia wayang. Tidak ada indikasi dari kawan, yang menawarkan pada saya, yang mengarah ke sana, namun pada bagian 2 (hal.17), ketika terjadi dialog antara Panglima Perang dengan Sang Putri dan lalu menyebut Panglima Perang dengan nama Sumantri langsung hati saya tergelitik: “Apa ada kaitan dengan Sumantri dan Sukrasana?”

Rasa penasaran saya yang begitu besar, membuat saya langsung mengkebet halaman untuk menyisir tokoh lain, hingga saya temukan Arjuna Sasrabahu, Begawan Suwandageni, dan yang sebenarnya tujuan utama pencarian saya yaitu adik Sumantri, Sukrasana. “Benarlah, cerita Sumantri dan Sukrasana!” Hal ini sebenarnya merusak irama membaca saya karena saya jadi bertanya, “Ada sesuatukah dengan cerita wayang ini?”

Lalu saya mulai membaca lagi. Karena saya tahu sedikit cerita tentang Sumantri dan Sukrasana, saya berasumsi bahwa novel ini bisa saya bandingkan dengan cerita wayang tersebut, pemikiran ini muncul karena saya pernah membaca beberapa novel yang melibatkan unsur dunia pewayangan, seperti Biola Tak Berdawai dimana dunia pewayangan digunakan sebagai pelengkap kisah utama dan penjeda alur utama. Jadi saat itu saya sama sekali tidak menyangka bahwa novel ini murni—pyur, asli—cerita Sumantri dan Sukrasana. Saya baca pelan-pelan karena takut ada lompatan alur yang luput, tapi setelah halaman demi halaman, saya mulai putus asa dan lambat laun akhirnya menerima novel ini sebagai novel wayang.

Jika ada nada kecewa dari saya, hal itu bukan karena saya tidak menyukai cerita wayang, nada itu keluar hanya karena saya sebagai pembaca telah pernah menikmati cerita Sumantri dan Sukrasana dalam dunia pewayangan. Rasa itu lalu menjadi benalu dan berwujud pertanyaan dalam benak saya. Pertanyaan pertama, “Mengapa Hardjono W.S menulis cerita pewayangan?” Kedua, “Mengapa yang dipilih adalah kisah Sumantri dan Sukrasana?” Dua pertanyaan ini timbul karena—jika tidak salah—hanya naskah novel inilah yang mengangkat dunia pewayangan diantara 20 judul buku karya-karya beliau.  Dan diantara sebegitu banyak kisah pewayangan, mengapa beliau justru memilih menuliskan kembali kisah Sumantri dan Sukrasana?

Sayangnya saat ini kita tidak bisa mengupas proses kreatif lahirnya novel ini pada pengarang, walau mungkin bisa juga dijawab oleh orang-orang yang dekat dengan beliau. Tapi saya memiliki dugaan-dugaan, misalnya; (a) novel ini ditulis karena luapan ekspresi pribadi pengarang yang terwakili dengan kisah ini. Sebagai seorang penulis mungkin beliau merasa kesepian dan ingin berguru, tapi siapakah guru yang pantas bagi seorang penulis yang telah malang melintang dalam dunia kepenulisan dan memiliki seabreg penghargaan? ; (b) ada faktor dalam diri pengarang yang melihat kesenadaan dunia sosial yang dihidupinya dengan dunia wayang. Dunia kita saat ini dan dua puluh tahun ke belakang adalah dunia yang penuh dengan pandangan yang mengedepankan penampilan dan harga diri (yang tidak pada tempatnya) daripada kesederhanaan dan kejujuran. Jadi sebagai sosok penulis yang tak lepas dari jiwa edukasi beliau berharap novel ini bisa menyadarkan pembacanya; (c) atau dorongan keprihatinan beliau pada anak-anak muda masa kini, an
ak-anak yang gagap terhadap cerita pewayangan sebagai bagian budayanya dan lebih memilih tokoh-tokoh teladan dari budaya lain yang tidak kita dihidupinya. Sebagai wujud tanggung jawab budaya itulah kemungkinan novel ini beliau tulis.

Masuk ke dalam Novel: Menyelam ke Dunia Pewayangan

Dewasa ini, walaupun tetap dalam jumlah yang kecil dibandingkan tema lain, dunia pewayangan banyak menjadi objek kreatif . Selain dalam bentuk tertulis, ada juga yang mengeksplorasi dalam bentuk cerita bergambar dan permainan (game). Nama-nama seperti R.A Kosasih, Pitoyo Amrih, Is Yuniarto, Siddha Malilang, A.R Wirawan, Nyoman S. Pendit, dll., banyak menghiasi rak toko-toko buku dengan judul-judul buku mereka tentang dunia wayang. Ditambah pula dengan hadirnya mata kuliah sastra wayang di beberapa fakultas sastra yang mendorong lahirnya telaah teks sastra wayang. Hal ini cukup menggembirakan, karena ada kegairahan baru menularkan budaya wayang selain melalui seni pertunjukkan yang sudah demikian merosot.

Saya kurang begitu mengerti apakah dalam dunia pewayangan cerita Sumantri dan Sukrasana termasuk dalam Pakem, Carangan, atau Sempalan. Tapi cerita yang terjadi pada masa Raja Arjuna Sasrabahu dari Maespati ini dari segi latar waktu lebih tua dari Ramayana (perang antara Rama dan Rahwana) dan Bharatayudha (perang antara Pandawa dan Kurawa).  Novel ini bercerita tentang dua saudara tak terpisahkan Bambang Sumantri dan Sukrasana, putra Begawan Suwandageni. Namun suatu ketika Sumantri sang kakak berniat mencari seorang guru. Begawan Suwandageni mengusulkan untuk menjadi murid Prabu Arjuna Sasrabahu di Maespati. Sebelum diakui sebagai murid Sumantri mesti menunaikan dua tugas. Pertama, menyelamatkan dan membawa Dewi Setyawati, putri negeri Magada yang sedang ditawan Raja Seribunegara di Ngutorosegara. Kedua, memindahkan utuh Taman Sriwedari ke istana Maespati. Kedua tugas dapat dijalankan Sumantri dengan baik. Namun, Sumantri tidak konsisten pada janji yang telah diucapkan pada Sukrasana. Dan diakhir cerita Sumantri secara tak sengaja membunuh sang adik lewat anak panah yang meluncur dari busur panahnya.

Pandangan Hidup Dunia Jawa

Dalam novel Panglima Perang ini tidak ada usaha dekonstruksi signifikan pada cerita Sumantri dan Sukrasana dalam dunia pewayangan. Asumsi-asumsi yang telah saya kemukakan sebelumnya menjadi alasan. Ditambah dengan latar sosial pengarang sebagai orang Jawa dan hidup dalam budaya Jawa yang tentunya ingin menguatkan kebudayaannya, bukan mengubahnya. Hal ini membuat novel ini penuh dengan pandangan hidup orang Jawa.

Pandangan hidup atau sikap hidup merupakan sikap mental yang menjadi acuan dalam bertindak. Dalam kebudayaan Jawa sikap hidup ini berpusat pada sikap rila, nrima, dan sabar. Dalam novel, sikap hidup tersebut begitu mencolok dan melekat erat pada tokoh-tokohnya. Sukrasana yang berpenampilan buruk rupa tidak sekalipun mengeluhkan kondisi fisiknya dan tidak pula iri pada kondisi fisik kakaknya yang bertolak belakang. Sukrasana bersedia menyerahkan segala milik, kemampuan, dan karyanya untuk Sumantri. Ia puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak. Sosoknya menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketaksabaran, dan ketiadaan nafsu yang bergolak. Saat Sumantri kebingungan bagaimana cara memindahkan taman sriwedari, Sukrasana membatunya tanpa diminta.

“Atau begini, Kakang. Tidak apa-apa Kakang malu dan tidak mau minta tolong kepadaku. Siapa tahu memang Kakang tidak pantas, tidak pada tempatnya Kakang minta tolong pada adiknya. Tidak apa-apa, aku tidak malu. Tetapi aku menolong Kakang meskipun tidak usah minta tolong kepadaku….” (hal.139)

Sikap rila, nrima, dan sabar ini bahkan nyata-nyata tampak pada ketulusan sukrasana setelah panah Sumantri menancap di dadanya, ia berkata,

“…. Kalau kelak kau mati dan menempati neraka, kutinggalkan surga yang telah disiapkan Dewa itu dan aku memilih neraka agar bisa bersama-sama denganmu lagi….” (hal.173).

Sikap rila, nrima, dan sabar juga dimiliki Sumantri dalam porsinya sebagai ksatria sekaligus Panglima. Saat cacian Sang Putri di alamatkan padanya, Sumantri diam saja, padahal dia bisa saja melaksanakan segala tuduhan dari sang Putri. Bahkan dia bersumpah tidak akan kawin dan hanya akan mengabdikan hidupnya pada Raja Arjuna Sasrabahu.

“…. Percayalah hamba tetap menghormati Paduka karena sang putri adalah calon Permasuri Raja. Hamba akan mennjadi kehormatan serta keselamataansang Putri sampai ke tangannya, tangan sang Raja. Catalah sang Putri, sampai kelak matiku, aku tak mungkin akan kawin dengan siapapun juga. Hidupku hanya kuserahkan pada negeri dan guru yang telah mampu memberiku ilmu lebih dari yang pernah kumiliki. ….” (hal.27)

Lokal Genius Jawa

Lokal genius, sebuah pemikiran orang Jawa yang di dasarkan pada watak tradisi. Orang Jawa tidak hanya mengembangkan pemikiran, namun juga berbaur dengan rasa. Pikiran dan rasa ini menjadikan orang Jawa lebih bijak.

Pengembangan pemikiran orang jawa masuk dalam tataran kawruh begja, yang meliputi gejolak nalar, rasa, dan keinginan orang Jawa dalam melangsungkan hidup. Inilah sejatinya gambaran dari sosok Sumantri yang berwujud keinginannya untuk terus mendapatkan ilmu. Sayangnya dalam usahanya itu  ia tidak belajar dari kesalahan-kesalahan lampau sehingga tidak menjadi manusia yang makarti. Sosok Sumantri pada suatu waktu luput dari pengembangan rasa orang Jawa, yaitu rasa rumangsa.

Rasa rumangsa adalah endapan rasa dalam melihat persamaan dan perbedaan diri sendiri dan orang lain sehingga tumbuh sikap mawas diri, kemampuan memahami diri sejujur-jujurnya. Kuncinya ada pada nandhing salira, ngukur salira, tepa salira, dan mulat salira. Sumantri gagal mengendapkan rasa untuk selalu merasa unggul (nandhing salira) sehingga ia ingin mencoba kehebatan calon gurunya Raja Arjuna Sasrabahu yang direkomendasikan oleh Begawan Suwandageni. Ketidakmampuannya dalam nandhing salira sebagai pintu pertama ini sudah menandakan ia gagal dalam olah rasa yang lain, ia gagal mengukur diri dengan kacamata orang lain dan sebaliknya (ngukur salira), bukankah rekomendasi Begawan Suwandageni sudah merupakan resep bahwa Arjuna Sasrabahu adalah guru yang pantas untuknya?

Sumantri juga gagal merasakan apa yang dirasakan orang lain (tepa salira), dalam hal ini perasaan Putri Setyawati dan perasaan adiknya Sukrasana. Ia tetap bersikeras untuk tanding dengan Arjuna Sasrabahu meski tahu perasaan Putri Setyawati yang koyak karena merasa menjadi Putri yang bisa diperebutkan kesana-kemari oleh tangan-tangan yang memiliki kekuatan. Ia juga gagal merasakan apa yang dirasakan oleh adiknya Sukrasana yang sederhana sekali, hanya ingin selalu bersama dengannya. Sumantri tidak mampu menemukan identitas dirinya yang membedakannya dengan orang lain (mulat salira), sehingga ia harus mengingkari keberadaan adiknya sebagai bagian tak terpisahkan dari dirinya.

Berbanding terbalik dengan Sumantri, Sukrasana, memiliki rasa rumangsa yang besar, baik nandhing salira, ngukur salira, tepa salira, dan mulat salira. Tapi Sukrasana bukanlah orang yang penuh gejolak nalar, rasa, dan keinginan dalam melangsungkan hidup. Bukanlah orang yang secara langsung memiliki sikap kawruh begja. Hal ini menarik karena sebenarnya mereka berdua adalah dua sosok lokal genius orang-orang Jawa. Namun dalam penceritaan tidak menjadi satu wadag sosok manusia, karena tentu saja tidak ada manusia yang sempurna. Karena sifat ketidaksempurnaan manusia itulah alur kisah ini menjadi lahan pembelajaran hidup yang berharga.

Tidak ada komentar: