03 Desember 2008

Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer

"Ilmu pengetahuan semakin banyak melahirkan keajaiban. Dongengan leluhur sampai malu tersipu. Tak perlu lagi orang bertapa bertahun untuk dapat bicara dengan seseorang di seberang lautan. Orang Jerman telah memasang kawat laut dari Inggris sampai India! Dan kawat semacam itu membiak berjuluran ke seluruh permukaan bumi. Seluruh dunia kini dapat mengawasi tingkah-laku seseorang. Dan orang dapat mengawasi tingkah-laku seluruh dunia" (Bumi Manusia).

Bumi Manusia adalah buku pertama dari empat novel yang berdiri sendiri yang lebih dikenali sebagai kuartet Buru. Novel dalam kuartet Buru meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Keempat novel ini dihasilkan oleh almarhum Pramoedya Ananta Toer sewaktu dalam tahanan buangan di Pulau Buru. Melalui Tetralogi Buru inilah Almarhum Pram berkali-kali dicalonkan sebagai peraih nobel sastra.

Semasa hidup, Pram memang tak lepas dari terali penjara. Tahun 1965 hingga 1979, dia ditahan dengan berpindah-pindah tempat, mulai dari penjara Jakarta, Tangerang, Nusakambangan, Magelang, Semarang, dan Pulau Buru. Tak hanya dalam rezim Orde Baru, pada pemerintahan Belanda pun dia pernah ditahan pada tahun 1947—1949. Nasib karyanya juga tidak banyak berbeda. Banyak hasil tulisannya yang dirampas Belanda, Inggris dan bahkan pemerintahan Indonesia sendiri, melalui rezim Orde Baru, yang pernah membakar dan merampas karyanya.

Novel Bumi Manusia oleh adikalangan dianggap sebagai karya terbaik dari Pramoedya. Novel ini mulai ditulis Pramoedya pada tahun 1975 secara sembunyi-sembunyi dan diterbitkan pada tahun 1980 ketika dibebaskan dari Pulau Buru. Novel ini merupakan cerita perjalanan hidup seorang anak pribumi berrnama Minke. Kisahnya berlatar Indonesia zaman penjajahan Belanda, antara tahun 1898 hingga 1918, di mana seorang anak pribumi dipandang rendah dan tidak setaraf dengan Bangsa-bangsa Eropa, khususnya Belanda.

Minke adalah seorang pribumi yang cerdik, berfikiran terbuka, yang mendapat pendiikan di sekolah elit HBS. Saat itu pengaruh modernisme dan pemikiran rasionalisme mulai merasuk ke Hindia Belanda. Pemikiran modern yang dipelajarinya membawa pengaruh yang besar kepada Minke dalam memandang segi-segi permasalahan kehidupan. Salah satu yang mendapat perhatian Minke adalah kehidupan Nyai Ontosoroh. Minke mulai menyelami sikap dan pemikiran kehidupan seorang Nyai, istri simpanan seorang Belanda, yang pada masa itu dipandang rendah oleh masyarakat dan tidak punya hak di sisi undang-undang. Watak Nyai Ontosoroh menjadi sumber penting yang mewarnai perkembangan pemikiran Minke.

Novel ini juga mengisahkan jalinan kisah cinta Minke dengan Annelis, putri Nyai Ontosoroh, dengan begitu Apik. Sebuah kisah percintaan antar ras dengan akhir cerita yang dikemas melalui kekalahan sang tokoh. Pengadilan Belanda tak menganggap perkawinan keduanya sah karena Annelis adalah peranakan Belanda. Walau Minke tahu meski status Annelis adalah istri resminya, posisinya akan tetap kalah di hadapan pengadilan rekaan Belanda, dan Annelis akan tetap dibawa ke Belanda. Minke maupun Nyai Ontosoroh tetap tidak tinggal diam dan terus berupaya berjuang melawan sistem peradilan yang timpang.

Bumi Manusia berakhir dengan kisah yang menyayat hati dan kesan mendalam. Watak Minke yang bermula tumbuh sebagai seorang pengagum Eropa berakhir dengan tragedi yang diakibatkan oleh sistem Eropa yang dipujanya.

Saat diterbitkan, novel ini mendapat sambutan hangat hingga harus mengalami cetak ulang lebih dari 10 kali dalam masa hanya setahun. Novel ini juga telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa. Namun kemudian pada tahun 1981, novel ini dinyatakan sebagai buku bacaan terlarang di Indonesia karena dituduh membawa faham Marxisme-Lenisme dan Komunisme.

Berbagai kalangan menyayangkan perlakuan semena-mena pada buku ini, karena diakui tak satupun ideologi marxisme yang menyusup dalam novel Bumi Manusia. Novel ini penuh dengan pesan kemanusiaan dan pembelaannya terhadap harkat dan martabat manusia. Novel ini murni gambaran segi-segi kehidupan bangsa terjajah dan segelintir manusianya yang mencoba meretas kesadaran pentingnya menuntut ilmu untuk kemajuan kehidupan bangsanya.

Novel-novel Pram memang seakan merupakan salah satu bentuk kemarahan Pram terhadap sistem, individu, organisasi dan pihak yang menindas dan menzalimi, yang berlindung di balik sistem keadilan. Namun kesemuanya itu tak terlepas dari pandangan semasa hidup Pram yang selalu berpendapat pentingnya keberanian. Keberanian penulis untuk menempuh risiko seorang diri untuk mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat.

Kondisi memprihatinkan rakyat di negara dunia ketiga membuat para penulis memikul tanggung jawab lebih berat. Ia menyayangkan generasi sekarang yang pemikirannya terlampau miskin dan tidak memiliki perhatian pada kemanusiaan.

Tidak ada komentar: