30 November 2008

Stephen King: Jalan Panjang Menjadi Pabrik Naskah

Sudah nonton film Hearts in Atlantis, The Girls Who Loved Tom Gordon, Bag of Bones, atau The Green Mile? Sederet judul tadi hanyalah sebagian kecil dari hasil karya seorang raja thriller yang berhasil memikat studio Hollywood untuk mengangkat hasil tulisannya ke dalam bentuk layar lebar, Stephen King.

Novelis satu ini selalu tak habis pikir dengan penulis lain yang menghasilkan tiga—empat karya saja sepanjang hidupnya, walaupun semuanya akhirnya berstatus best seller, karena ia sendiri termasuk novelis produktif yang telah menghasilkan lebih dari 30 buku best seller.


Berbagai penghargaan telah diraihnya. Penerima medali The National Book Foundation Medal 2003 untuk kontribusi berharganya dalam dunia tulis Amerika ini juga sempat dipercaya menjadi juri untuk Prize Stories: The Best of 1999 dan The O. Henry Award.

Stephen King lahir pada tahun 1947 di Maine, Portland dari pasangan Donald dan Nellie Ruth Pillsbury King. Sebagian masa kecilnya lebih banyak dihabiskan di Fort Wayne, Indiana dan Stratford, Connecticut, di mana ia lebih sering di dalam rumah ketimbang sekolah lantaran kesehatannya yang buruk. Awal perkenalannya dengan dunia tulis menulis berawal ketika kakaknya, David, melibatkannya dalam sebuah koran lokal yang diurus dan dicetaknya sendiri, Dave Rag. Biasanya Stephen mendapat tugas untuk menulis cerita bersambung. Waktu terus berlalu dan ia kian tenggelam dalam kesibukannya tersebut. Pada debut “karir profesional”-nya sebagai penulis fiksi itulah Stephen mulai mempelajari pasar di majalah Writer's Digest. Ia pun mulai mencoba mengirimkan beberapa naskah hasil karangannya ke beberapa media.

Karangan pertamanya, Happy Stamp, dikirimkannya ke Alfred Hitchcock's Mystery Magazines (AHMM). Namun, tiga minggu kemudian cerpen itu dikembalikan dengan slip penolakan. Stephen lalu memaku slip penolakan tersebut. Ia tidak merasa putus asa, bahkan malah semakin gencar mengirimkan ceritanya secara periodik ke beberapa majalah. Tak terhitung banyaknya slip penolakan yang diterimanya sampai-sampai dindingnya penuh tertutup oleh kertas-kertas tersebut.

Pengalamannya di Dave Rag membuatnya diangkat menjadi editor The Drum, koran sekolahnya. Disini, Stephen mendapat banyak pelajaran berharga yang tidak pernah dilupakannya. Pertama, saat ia mulai menggandrungi film-film horor, fiksi ilmiah atau film-film tentang geng remaja, datanglah ilham mengubah film The Pit & The Pendulum ke dalam buku. Stephen lalu mencetaknya di Drum Press, dan menjual kopiannya dengan label penerbit VIB (Very Important Book). Kedua, saat bosan mengedit The Drum dia malah membuat koran sendiri, namanya The Village Vomit. Koran plesetan ini berisi kabar-kabar fiktif dan lelucon mengenai para guru. Kedua ulah itu sama-sama membawanya ke kantor kepala sekolah sebagai pesakitan. Selain karena telah menjadikan sekolah sebagai ajang berjualan, ia juga telah seenaknya mengubah cerita yang sudah punya hak cipta, serta menjelek-jelekken para guru. Salah satu gurunya, Miss Hisler, menganggapnya menyia-nyiakan bakatnya dengan tulisan sampah. Walaupun sudah dengan tulus meminta maaf, Stephen tetap diskors.

Tidak berapa lama kemudian, pihak konselor sekolah dibantu John Gould dari koran mingguan Lisbon sepakat mengirimkan Stephen untuk bekerja magang di sana sebagai reporter olahraga. Sesuatu yang bagus untuk mengarahkan penanya yang gelisah ke saluran yang lebih konstruktif. Disana, Stephen mendapat pelajaran berharga mengenai menulis dari Gould, “Menulislah dengan pintu tertutup, menulis ulanglah dengan pintu terbuka. Hasil karyamu mulanya memang hanya untukmu, tapi kemudian keluar dan menjadi milik siapa saja yang ingin membaca atau mengkritiknya. Tapi yang terpenting, sadarilah bahwa pasti akan ada orang yang mengatakan apa yang kau lakukan sia-sia. Tiap penulis pasti mengalaminya.” Pemikiran ini kian meneguhkan niat Stephen untuk berkiprah dalam dunia tulis menulis secara total.

Cerita pendek pertamanya yang menghasilkan uang adalah The Glass Floor yang dimuat di Starting Mystery Stories pada tahun 1967. Sepanjang awal tahun-tahun pernikahannya, Stephen terus menggantungkan diri dengan menjual cerita di majalah-majalah pria. Cerita-cerita tersebut kemudian dikumpulkan dalam koleksi Night Shift, atau dalam beberapa antologi. Namun uang yang didapatnya kala itu tidak banyak berarti karena ia telah berkeluarga. Hal ini membuatnya berpikir untuk mencari tambahan penghasilan. Musim gugur tahun 1971, Stephen mulai mengajar di Hampden Academy dengan gaji US$ 6,400 per tahun, tapi keadaan ekonomi keluarganya tak kunjung membaik. Selama beberapa waktu, ia bersama keluarganya terpaksa tinggal di trailer besar tanpa telepon karena tidak mampu membayar tagihannya. Namun Stephen tetap tidak bisa melupakan kecintaannya pada dunia menulis. Saat petang di akhir pekan, ia terus menghasilkan cerpen-cerpen, sambil menggarap Carrie, novel keempatnya setelah Rage, The Long Walk, dan The Running Man.

Ketekunan dan kerja kerasnya mulai berbuah manis. Musim semi tahun 1973, Stephen mendapat telegram dari Bill Thompson yang memberitahu bahwa Doubleday & Co. berniat membeli novel Carrie. Stephen mendapat US$ 2,500 sebagai uang muka yang kemudian dibelanjakannya untuk mobil, sewa apartemen sederhana US$ 90 sebulan, dan memasang telepon lagi, sembari membayangkan bila novelnya dicetak dalam edisi paperback yang menawarkan keuntungan besar dan mengantarnya menjadi penulis penuh. Tapi novelnya tak kunjung terbit. Dia pun kembali pada rutinitasnya mengajar.

Di akhir musim panas 1973, Stephen sekeluarga pindah ke Selatan Maine untuk merawat ibunya yang jatuh sakit. Saat musim dingin dimulai, ia menyewa sebuah rumah musim panas di Danau Sebago, Windham Utara dan mulai menulis novel “Second Coming and The Jerusalem's Lot“ di garasi. Novel ini kemudian lebih dikenal dengan nama Salem's Lot. Pada bulan Desember tahun 1973, tanpa diduga Bill Thompson kembali menelponnya untuk memberitahukan bahwa hak paperback untuk Carrie terjual ke Signet Books senilai US$ 400,000, dan Stephen berhak menerima setengahnya. Stephen merasa amat gembira karena hasil kerja kerasnya tidaklah sia-sia. Namun sebuah kabar duka menghampirinya, ibundanya meninggal di usia 59 tahun lantaran kanker.

Di musim gugur tahun yang sama, keluarga King pindah ke Boulder, Colorado. Mereka tinggal di sana kurang dari setahun selama penulisan The Shining yang mengambil setting di Colorado. Kembali ke Maine pada tahun 1975, mereka membeli rumah di daerah barat dari Danau Maine. Di rumah itulah King selesai menulis The Stand, yang juga bersettingkan Boulder. Keluarga King sempat mencoba tinggal di Inggris pada tahun 1977. Namun baru tiga bulan, mereka memutuskan memotong waktu tinggal mereka dan membeli rumah baru di Center Lovell, Maine, pada pertengahan Desember. Setelah tinggal selama musim panas, mereka kembali pindah ke Orrington, dekat Bangor, sehingga Stephen dapat mengajar penulisan kreatif di Universitas Maine, Orono.

Tidak ada komentar: