18 Februari 2009

Sedikit Tentang Hamka, Ulama dan Penulis Besar

Dalam khasanan sastra siapa yang belum membaca Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah? Novel kanon karya Hamka-yang biasanya kita alpa bahwa nama itu kepanjangan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah-sudah menjadi legenda.

Karya-karya yang kental mengangkat masalah islam, perikehidupan masyarakat islam, kegelisahan akan kultur matrinial, dan sejenisnya membuatnya berbeda dengan kebanyakan sastrawan lain sezaman yang banyak mengangkat masalah ketegangan tradisi dan modernisasi.


Hamka lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada tahun 1908. Ia mewarisi karakter orangtuanya yang tegas dan mandiri. Ayahnya, Haji Abdul Karim bin Amrullah, adalah pelopor gerakan islah (tajdid) di Minangkabau dan pendiri Pondok Pesantren Sumatera Thawalib, Padang Panjang. Hamka kecil hanya mengenyam dua tahun pendidikan formil, tidak tamat sekolah dasar, namun jalur otodidak membuatnya tak pernah berhenti belajar.

Bisa dibilang Hamka adalah penerus energi budaya Minangkabau yang terus menelurkan sastrawan-sastrawan dan karya-karya kreatifnya. Lingkungan Minangkabau, baik secara geografis maupun budaya, telah melahirkan sastrawan-sastrawan seperti Abdul Muis, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Rustam Effendi, dan Muhammad Yamin. Karya-karya Hamka, seperti Laila Majnun (1932), Mati mengandung Malu (1934), Di Bawah Lindungan Ka'bah (1934), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1937), Di Dalam Lembah Kehidupan (1939), Merantau Ke Deli (1940), dll, merupakan karya-karya penting dalam Angkatan Pujangga Baru.

Pada usia belasan beliau sudah fasih menguasai bahasa Arab, saat usia 16 tahun beliau merantau ke Jogjakarta berguru pada tokoh-tokoh pergerakan islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin. Beliau juga sempat tinggal bersama iparnya, AR Mansyur, tokoh Muhammadiyah, di Pekalongan. Di sana ia menambah wawasan keorganisasian dan pergerakan serta mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal yang kemudian ia terapkan saat ia memutuskan kembali ke Padang dan mendirikan Majlis Tabligh Muhammadiyah. Ia mengembangkan organisasi itu selama dua tahun, hingga pada tahun 1927 memulai petualangan baru dengan pergi ke Mekah.

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Di Mekah Hamka mengasahnya, Hamka muda sangat intens mempelajari berbagai pemikiran ulama Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluthi, Hussain haikal, dsb, juga para pemikir Eropa yang buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Bekal itulah yang membuatnya menjadi tokoh penting gerakan islam. Dalam rentang 73 tahun masa hidup beliau telah menulis lebih dari 300 judul buku, ratusan tulisannya tersebar diberbagai media, ceramah-ceramahnya memukau, dan debat-debat tajamnya mewarnai tiap diskusi.

Bagaimanapun tokoh ini pun tak urung penah didera cemooh, bagaimana mungkin seorang ulama besar menulis novel? Beliau juga pernah mendapat fitnah paling keji dalam dunia kepenulisan, tuduhan bahwa novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah plagiasi karya novelis prancis Alphonse yang disadur kedalam bahasa Arab oleh Al-Manfaluthi yang berjudul Madidulun (versi Indonesia berjudul Magdalena). Fitnah itu kemudian diteruskan dengan olokan-olokan tajam dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Tapi beliau tak pernah menggubris, waktu yang akan menjawab.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau adalah penerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Bahkan gelar Honoris Causa itu adalah yang pertama kali diberikan oleh lembaga terpenting di Timur Tengah itu. Gelar serupa juga diberikan Universitas Kebangsaan Malaysia. Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak mengatakan, "Hamka bukan lagi milik bangsa Indonesia. Tetapi juga telah menjadi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara."

Tidak ada komentar: