24 November 2008

Bilik Imajinasi dan Petualangan SGA

SGA merupakan inisial populer dari Seno Gumira Ajidarma. Sastrawan, fotografer dan kritikus film Indonesia yang biasa menggunakan tokoh Sukab dalam tulisan-tulisannya. Masa kecilnya di bangku sekolah sungguh penuh warna.

Anak pertama dari dua bersaudara yang lahir 19 Juni 1958 di Boston, Amerika Serikat, ini gemar sekali mangkir dan melawan peraturan sekolah, sampai-sampai ia diskors dan dicap sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di sekolah. Setelah masa lulus SMP Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang Jerman Karl May, Seno mengembara mencari pengalaman.
Selama tiga bulan, berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor, ayahnya sendiri, ia mengembara di Jawa Barat hingga ke Sumatera. Ceritanya seru seperti di film-film; menyeberang sungai, naik kuda dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, Seno pulang dan meneruskan sekolah.

Kalau sekarang ia jadi sastrawan, sebetulnya bukan itu mulanya. Tapi ia mau jadi seniman. Menjadi seniman yang dia lihat tadinya bukan karya, tetapi Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, rambut boleh gondrong, dan beristri cantik. Tapi karena seniman itu harus punya karya maka barulah kemudian Seno berkarya dengan mulai menulis cerpen dan esai saat SMA tahun 1974. Ia mewajibkan dirinya menulis karena ia suka membaca. Ia terobsesi menguasai tulisan. Tertarik puisi-puisi mbeling-nya Remy Sylado di majalah Aktuil Bandung, Seno pun mengirimkan puisi-puisinya dan dimuat. Seno lalu tertantang untuk mengirim puisinya ke majalah sastra Horison. Waktu itu usianya baru 17 tahun namun pusinya sudah berhasil menembus majalah sastra Horison.

Ia menganggap segala pekerjaan tulis menulisnya ibarat ”jadi tukang”. Menurutnya menjadi tukang tidak cukup berbekal keterampilan. Ada pergulatan intens. Tukang kayu harus kenal kayu secara personal. Petani harus kenal cuaca, tanah, air, benih, secara personal. Keangkuhan para intelektual membuat rendah derajat tukang. Padahal di dalam ”pertukangan” ada perfection, yang di dalamnya ada penghayatan, ada pengetahuan yang mendukung.

Pada usia 19 tahun ia sudah bekerja menjadi wartawan koran. Awalnya karena ia butuh uang karena ingin menikahi Ike. Dan memang kemudian ia kawin. Di usianya yang ke-20, Timur Angin, anaknya lahir. Kesempurnaan hidup sudah dituntaskannya pada usia 20 tahun. Semua dijalani dengan ringan. Tahun itu juga Seno lalu masuk Institut Kesenian Jakarta, jurusan sinematografi.

Rupanya, walau berseberangan secara pemikiran, Seno tetap menuruni tradisi keilmuwan yang ada di dalam keluarganya. Ayahnya, Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada bidang fisika dan dikenal sebagai ahli energi alternatif . Ibunya, Poestika Kusuma Sujana, adalah dokter spesialis penyakit dalam. Tak heran ia menikmati jenjang-jenjang pendidikan Sarjana (S1) Fakultas Film & Televisi IKJ, Magister (S2) Ilmu Filsafat Univ. Indonesia, dan Doktor (S3) Ilmu Sastra Univ. Indonesia, yang di selingi berbagai proses kreatifnya membuat novel, naskah drama, skenario, cerita pendek, kolom, dan esai.

Cerpen-cerpennya banyak muncul di harian Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, majalah Matra, Djakarta!, Horison, dan Latitute. Cerpennya "Sebuah Pertanyaan untuk Cinta" pernah difilmkan dan ikut serta dalam festival film JIFFEST (Jakarta International Film Festival). Pada tahun 1987, Seno mendapat Sea Write Award. Cerpennya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1993. Tahun 1997, berkat kumpulan cerpennya Saksi Mata (1994) Seno memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary. Juga penghargaan atas Negeri Senja (2004) yang mendapat Khatulistiwa Literary Award 2004.

Saksa Mata satu bagian dari Trilogi Insiden yang mengandung fakta seputar Insiden Dili yang ditabukan media massa semasa Orde Baru. Bersama roman Jazz, Parfum & Insiden dan kumpulan esei Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara menjadi dokumen tentang bagaimana sastra tak bisa menghindar untuk terlibat secara praktis dan konkret dalam persoalan politik, apabila politik kekuasaan itu menjadi semakin tidak manusiawi. Di masa reformasi, kewaspadaan atas perilaku kekuasaan tidak bisa dilepaskan. Ketiganya diterbitkan ketika Orde Baru masih berkuasa, dan di masa reformasi, ketiga buku ini diterbitkan kembali untuk memenuhi kebutuhan untuk saling mengingatkan dan meningkatkan kewaspadaan atas perilaku kekuasaan.

Buku-bukunya yang lain antara lain Manusia Kamar, Sang Buronan, Wisanggeni, Kitab Omong Kosong, Penembak Misterius, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Kematian Donny Osmond, Iblis Tidak Pernah Mati, Matinya Seorang Penari Telanjang, Sepotong Senja untuk Pacarku, Surat dari Palmerah, Biola tak berdawai, Kisah Mata, Kalathida, dan Linguae.

Meskipun tidak lagi menjadi pusat orbit penciptaan cerpen Indonesia mutakhir, Seno Gumira Ajidarma menjadi tokoh cerpenis Angkatan 2000, dan memperoleh legitimasi kritikus serta sastrawan mapan berkat ekspolorasi gaya bertutur, eksplorasi bahasa, pluralisme tema, produktivitas, dan menjaga kualitas teks sastra. Cerpen-cerpennya menjadi simbol bagi generasi muda cerpenis terkini bahwa dunia penciptaan cerpen menemukan tonggak daya dobraknya, tanpa menjadi teralienasi dengan pembacanya.

Tidak ada komentar: