23 November 2008

KLA Untuk "Bilangan Fu" Ayu Utami

Ayu Utami mendapatkan kado istimewa menjelang ulang tahunnya ke-40. Tak tanggung-tanggung, ia mendapat durian runtuh berupa uang tunai 100 juta rupiah. Kamis malam, tanggal 13 November di Atrium Plasa Senayan Jakarta, "Bilangan Fu" novel terbaru miliknya dinobatkan sebagai pemenang penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) untuk Kategori Prosa.

Menurut Hamsad Rangkuti "Bilangan Fu" mewakili spirit sastra yang serius dan matang. Pernyataan tersebut rasanya bukan isapan jempol semata.

Di tengah banyak bermunculannya penulis sastra muda yang cenderung gemar bermain akrobat kata-kata dan mementahkan gagasan yang bernas, novelis kelahiran Bogor 21 November 1968 ini patut dicatat sebagai penulis yang turut mengembangkan kehidupan sastra tanah air dengan basis penelitian yang kuat.

Tak mengherankan, karena alumni Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini memiliki basic dunia jurnalistik. Ayu Utami telah malang melintang sebagai wartawan di Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Saat pembredelan majalah Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru, ia turut serta dalam Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes usaha pembungkaman media oleh pemerintah.

Dunia kepenulisannya di ranah fiksi terasah ketika ia bekerja di Jurnal Kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Pada tahun 1998 novel pertamanya, "Saman", berhasil menjadi pemenang dalam Sayembara Menulis Roman Dewan Kesenian Jakarta. Karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya, ia mendapat Prince Claus Award pada tahun 2000. Tahun 2001 "Larung", kelanjutan novel "Saman", menyusul hadir sebagai dwilogi yang masing-masing berdiri sendiri.

Beberapa komentar miring sempat dialamatkan pada Ayu Utami, seorang novelis yang hanya perlu satu karya yang meledak dan menjadi masterpiece lalu mandul berkarya selama bertahun-tahun setelah novel pertamanya sukses puluhan kali cetak ulang. Tapi hal itu terjawab bersama kehadiran novel barunya, "Bilangan Fu".

Novelnya ini tetap dalam jalur menangkap carut marut zaman. Fasih tanpa beban berbicara tentang cinta, seks, politik, dan agama yang merubung lalu-lintas informasi kultural. Bilangan Fu mengisahkan persahabatan tiga orang yang salah seorangnya memiliki mimpi-mimpi intim dan ganjil yang membuat ia terobsesi pada sebuah bilangan bukan rasional bernama bilangan fu. Ketiga orang tersebut akhirnya terjebak dalam kisah cinta segitiga dan petualangan dengan latar pegunungan kapur di pantai Selatan Jawa, hingga bilangan bukan rasional fu samar-samar menampakkan diri.

Tiap peristiwa dalam novelnya merupakan rincian bangunan berdasarkan riset yang rigid, tanpa terjebak menjadi obralan fakta sehari-hari, sehingga berhasil menyentuh emosi. Karyanya mengingatkan kita pada roman-roman almarhum Pramudya Ananta Toer.

Yang juga patut diacungi jempol adalah penyelenggara Khatulistiwa Literary Award. KLA memang salah satu ajang rutin untuk memberikan apresiasi pada kerja keras dan prestasi dalam dunia kepenulisan sastra di tanah air. Ajang ini dilaksanakan melalui tiga tahap seleksi mencakup karya yang terbit sejak Juli 2007 hingga Juni 2008. Seleksi terakhir dilakukan oleh tim yang digalang Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Remy Sylado, dan Linda Christani.

Ajang ini tidak tanggung-tanggung memberikan suntikan dukungan bagi penulis, untuk kategori buku prosa terbaik dan buku puisi terbaik, masing-masing mendapat hadiah uang 100 juta rupiah. Sedang untuk kategori penulis muda berbakat mendapatkan 25 juta rupiah. Bersama novel "Bilangan Fu" juga dinobatkan "Jantung Lebah Ratu" milik Nirwan Dewanto untuk Kategori Buku Puisi, dan "Cari Aku di Canti" karya Wa Ode Wulan Ratna, untuk Kategori Penulis Muda Berbakat.

Tidak ada komentar: