17 Januari 2009

Wisran Hadi dan Jagad Teater Indonesia

Mulanya ia bertekad untuk menjadi pelukis, tapi kenyataan pahit membuatnya banting arah. Selepas masa studi di ASRI (Akademi Senirupa Indonesia) Yogyakarta tahun 1969, ia pulang ke kampung halaman menengok Ayahnya yang sedang sakit di Padang. Tapi kemudian tidak bisa kembali ke Yogyakarta karena tidak ada ongkos.

Ia lalu menjadi guru melukis di SSRI Padang tahun 1970, hingga kemudian diajak A.A Navis menjadi guru di Ruang Pendidikan INS Kayu Tanam. Ia mulai ia putar haluan dengan ”belajar” menulis karena terheran mendapati mahalnya biaya untuk membeli cat, karena cat hanya bisa didapatkan di Medan, lebih 400 km dari Padang.

Tentu tidak mudah memulai menulis, karena pola pikir dalam menulis jauh berbeda dengan pola pikir dalam melukis. Ia harus belajar menyusun kata yang mampu membangun pikiran dan imajinasi; berbeda ketika ia melukis, dimana ia harus mengkonkretkan imajinasinya sebelum disalurkan dalam kanvas. Secara spesifik ia memilih lahan menulis naskah drama yang di tanah air bisa dibilang belum berpenghuni, dibandingkan penulis novel atau cerpen yang sudah marak. Ia mulai menganalisis buku-buku dan naskah penting dari berbagai dunia, mulai dari karya William Shakespear, Jean Geredaux, Moliere, Albert Camus, Sophocles, hingga karya M. Yamin, dan Asrul Sani. Hasilnya? Jadilah ia raja penulis naskah drama di tanah air.

Dialah Wisran Hadi, penulis lakon fenomenal dalam jagad teater Indonesia yang lahir di Padang, Sumatera Barat 27 Juli 1945. Sebanyak 15 naskah dramanya tempil sebagai pemenang Sayembara Penulisan Naskah Drama yang diadakan Dewan Kesenuan Jakarta, semenjak 1976 s.d. 1985, 1998, dan 2004. Naskah-naskah dramanya tersebut antara lain: Gading Cempaka, Mama di Mana, Imam Bonjol, Penyeberangan, Pewaris, Perguruan, Malin Kundang, Cindra Mata, Anggun nan Tongga, Ring, dan Gaung.

Bersama Harris Effendi Tahar, Darman Munir, Raudha Taib, A. Alin De, dan Herisman Is, ia mendirikan Bumi Teater pada November 1976 sekaligus menjadi pimpinan dan sutradara. Ketika menggarap dan mementaskan Puti Bungsu ia mendapatkan gugatan serius dari berbagai kalangan karena karakter tokoh-tokoh Malin Kundang, Malin Deman, dan Sangkuriang yang berbeda dari aslinya. Tapi ia tetap maju, karena menemukan makna baru yang oleh beberapa kalangan dianggap kontroversial adalah energi kreatif baginya.

Tahun 1977 Wisran Hadi menjadi peserta International Writing Program pada School of Letters, The University of Iowa. Pada tahun 2000 ia menerima penghargaan SEA Write Award, penghargaan tertinggi untuk sastrawan ASEAN. Tahun 2003 ia menerima Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia untuk kiprahnya menaikkan marwah seni di dalam dan di luar negeri. Sejak tahun 2001 sampai 2005 ia menjadi dosen tamu di Akademi Seni Kebangsaan, Kementrian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia di Kuala Lumpur.

Buku-buku drama yang telah diterbitkannya yaitu: Empat Lakon Perang Paderi (Angkasa Bandung, 2003), Empat Sandiwara Orang Melayu (Anggkasa Bandung, 2003), Mandi Angin (Dewan Kesenian Sumbar, Padang, 1999), Jalan Lurus (Angkasa Bandung, 1997), Baeram-Kumpulan 8 Drama Pendek (Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia, Depdikbud RI, Jakarta, 1982), Anggun Nan Tongga (Balai Pustaka, 1982), Pewaris (Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia, Depdikbud RI, Jakarta, 1981), Perantau Pulau Puti (Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia, Depdikbud RI, Jakarta, 1981), Perguruan (Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia, Depdikbud RI, Jakarta, 1981), Kemerdekaan (Majalah Sastra Horosan, 1980), dan Puti Bungsu (Pustaka Jaya, Jakarta, 1978).

Bagi Wisran Hadi sebuah naskah adalah produk budaya dan intelektual. Maka ia tidak main-main dalam mengerjakan tiap naskahnya. Ia selalu melakukan riset, membaca ulang, serta mengkritisi tema-tema yang akan digarap. Jadilah naskah-naskah cerita rakyat seperti Malin Kundang, Malin Deman, serta Sangkuriang mendapat sentuhan gagasan baru di tanggannya yang menggugat realitas-realitas mapan yang ada di masyarakat.

Merasa tidak ada tandingannya lagi dalam penulisan naskah drama, tahun 1992 Wisran Hadi mulai mencoba menulis cerpen dan novel. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di Majalah Sastra Horison dan beberapa media lain, juga dibukukan dalam Guru Berkepala Tiga (PN Balai Pustaka, Jakarta 2002) dan Daun Mahoni Gugur Lagi (Fajar Bakti Sdn.Bhd. Malaysia 1998). Sementara novel-novelnya kemudian jauh lebih bersinar, novel pertamanya, Tamu, dimuat bersambung di Harian Republika tahun 1994 dan kemudian diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti tahun 1996 sekaligus meraih penghargaan Buku Utama dari IKAPI.

Sejak itu meluncurlah novel-novel apik dari tangannya, seperti novel Pelarian, diterbitkan bersambung di harian Republika 2002, Imam (Pustaka Firdaus, Jakarta 2002), Dari Tanah Tepi (PN Balai Pustaka, Jakarta 2001), Negeri Perempuan (Pustaka Firdaus, Jakarta 2001), Orang-Orang Blanti (Citra Budaya Indonesia, padang), dan Batu Api (Serambi, 2006).

Membaca naskah-naskah Wisran Hadi kita akan melihat sesuatu yang baru, sesuatu yang indah tetapi juga aneh. Kadang menggelikan dan terasa sinis, akan tetapi penuh daya kritis. Ada tukikan-tukikan makna dibalik bahasanya yang ironis, disertai permainan kata yang liar dan satir, membuat kita seperti tengah digiring untuk menertawakan diri sendiri.

Tidak ada komentar: