Kolonialisme tidak pernah membawa kesejahteraan bagi rakyat yang dijajah. Sehumanis apa pun wajah kolonalisme, hasilnya hanyalah dehumanisasi. Tidak mengherankan jika pemberontakan kerap terjadi bahkan ketika praktik politik etis dilaksanakan di tanah jajahan.
Itu yang dapat ditangkap dalam buku Emilie Jawa 1904 ini. Dalam buku karya Catherien Van Moppes ini digambarkan bagaimana poltik etis yang dicoba dilakukan di Hindia Belanda ternyata tetap mendapatkan penolakan dari kaum yang merasa terjajah.
Itulah yang disaksikan oleh Emilie, seorang perempuan berdarah Prancis, istri seorang asisten keamanan pemerintah kolonial. Emilie yang datang ke Jawa di tahun 1904 untuk mendampingi suaminya, Lucien, adalah tokoh sentral dalam novel ini.Ia digambarkan mengalami sendiri pergolakan di tanah jajahan pada masa itu.
Setengah bagian awal buku setebal 481 halaman ini menceritakan apa saja yang dilakukan oleh Emilie sebagai persiapan untuk datang ke tanah jajahan, termasuk interaksinya dengan sejumlah pejabat pemerintah kolonial, baik di Prancis maupun Belanda.Dari interaksi inilah terlihat bagaimana pandangan orangorang di negeri kolonial dalam memandang pribumi di tanah jajahan.
Bagi pemerintah kolonial, orangorang pribumi di tanah jajahan adalah orang-orang yang dungu, primitif, dan perlu dididik untuk menjadi orangorang yang lebih beradab dan manusiawi.Oleh karenanya, dipandang perlu untuk mengukuhkan moralitas masyarakat setempat dengan membangun fondasi peradaban bagi orang Jawa yang dianggap kafir dan barbar (hal 84).
Setiba di Jawa, Lucien dibebani tugas untuk ikut mengampanyekan arti kebijakan humanis. Tugas itu dilengkapi dengan perintah untuk meredam segala bentuk gejolak yang bernada anti-Barat.Pada masa itu memang banyak muncul golongan anti-Barat yang disebut sebagai kaum idealis fanatik gaya baru. Mereka banyak dipengaruhi pemberontak serta separatis dari China, Jepang, maupun Filipina.
Emilie pun menjadi akrab dengan orang-orang yang dekat dengan dunia pergerakan. Inilah yang menjadikan pandangan serta posisi Emilie menjadi berseberangan dengan suaminya. Belakangan, hal ini menjadi legitimasi baginya untuk mengkhianati pernikahanya, lalu menjalin cinta dengan Anendo yang terkait dengan tokoh-tokoh pemberontak.
Jalinan kisah cinta antara Emilie dan Anendo tampak digunakan oleh penulis buku ini, Catherine Van Moppes, sebagai salah simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Lucien yang berada di pihak kolonial dilawan oleh Emilie yang bersimpati dengan gerakan-gerakan anti hegemoni Barat.
Catherine berhasil membawa pembaca ke dunia masa lalu yang memikat.Pada saat yang bersamaan ia juga berhasil menarik pembaca ke situasi politik dan pusaran ideologi yang berlangsung kala itu. Akhirnya, banyak pelajaran yang dapat diambil dari buku ini, terutama mengenai makna kebebasan dan kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar