Inilah novel menyentuh dan mencerahkan berlatar Aceh pada masa penuh
gejolak setelah kejatuhan Soeharto. Lampuki adalah sebuah satir cerdas
tentang gebalau konflik antara tentara pemerintah dan kaum gerilyawan
yang pada ujungnya menyengsarakan orang-orang kecil tak berdosa. Untuk itu novel Lampuki karya Arafat Nur ini kemudian ditetapkan sebagai pemenang Khatulistiwa Literary Award 2011 untuk kategori fiksi. Novel ini terasa unggul karena mampu mendedahkan satire dan ironi
sebagai jurus cerita yang tidak semua pengarang bisa memainkannya. Ia
menjadi subversif karena membantah cara pandang yang selama ini dianggap
lazim dan itu disuarakan oleh pengarang yang terhitung orang dalam, ia
yang langsung atau tidak langsung menjadi korban.
Selama ini kita
memandang peristiwa pergolakan politik di daerah dengan bias kepentingan
masing-masing. Jika tidak menaruh simpati yang besar kepada para korban
dan mengutuki mereka yang memainkan peran dalam kekacauan itu, pasti
kita mengutuk pemerintah yang tidak becus mengurusi negeri ini.
Di
pusat cerita adalah seorang lelaki kampungan berkumis tebal bernama
Ahmadi. Dialah mantan berandal yang kemudian tampil menjadi pemimpin
laskar gerilyawan yang berlindung di desa Lampuki. Si kumis yang banyak
lagak ini menghasut para penduduk untuk mengangkat senjata melawan
tentara yang datang dari pulau seberang. Namun, walau dia selalu lolos
dari kejaran orang-orang berseragam, para penduduk desalah yang kena
batunya. Orang-orang tak berdaya itu kerap menjadi sasaran kemarahan
tentara.
Kisah kian menarik dengan bumbu cinta terlarang antara
Halimah, istri Ahmadi yang bertugas mengutip pajak perjuangan ke
rumah-rumah penduduk, dan Jibral si Rupawan, pemuda tanggung penakut
yang menjadi pujaan hati gadis-gadis sekampung.
Novel ini ditulis
penuh perasaan dan dengan rasa humor yang cerdas. Tak tampak
penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap ke dalam cerita dengan
bahasa yang lincah walaupun kental terasa pemihakan terhadap si lemah.
Nah di bawah ini ada beberapa komentar pembaca mengenai novel ini:
"Strategi pengarang untuk mengambil jarak emosional dengan masalah
politik dan sosial penting yang diungkapkannya berhasil menyadarkan kita
bahwa protes atau komentar sosial dan politik tidak harus disampaikan
dengan bahasa kepalan tangan. Pengarang telah memanfaatkan penghayatan
dan pengetahuannya tentang masalah itu untuk menyusun sebuah kisah yang
mampu menumbuhkan simpati terhadap tokoh-tokoh yang terlibat di
dalamnya."
—Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru besar sastra UI, juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2010
"Di
dalam Lampuki, Arafat bergerak, membawa kita pada sehimpun kisah yang
mengejutkan, penuh satir, dan hanya mungkin lahir oleh kekacauan politik
... Dia telah mengganggu apa yang paling tidak diinginkan otoritas
moral di mana pun: khayalan untuk melindungi sifat buruk manusia!"
—Azhari Aiyub, penulis Aceh, penerima anugerah internasional Free Word Award 2005
"Lampuki adalah novel satir yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa. Ia membikin kita penasaran sampai khatam."
—Abidah el Khalieqy, novelis, penulis cerita film Perempuan Berkalung Sorban, tinggal di Yogyakarta
"Sebuah novel yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai."
—Helvy Tiana Rosa, sastrawan, motivator menulis, dan dosen Universitas Negeri Jakarta
"Lagi-lagi
Aceh membikin kejutan! Sebelumnya soal perang, lalu tsunami, dan kali
ini Lampuki. Kisahnya amat menyentak dan sangat berani."
—Gol A Gong, penulis, Ketua Forum Taman Baca Masyarakat Indonesia, dan pendiri komunitas Rumah Dunia, Serang
"Arafat
Nur sangat cerdas merebut realitas sosial yang beranak duri dalam
daging dari peristiwa Aceh. Dia intip, dengar, lihat, dan rasakan
kecamuk berpuluh tahun yang mengeram di bumi Aceh, diolah melalui
kemampuan berpikir, melahirkan pengalaman jiwa, maka jadilah realitas
sastra bernama Lampuki. Novel ini mengungkit kegetiran kondisi sosial
Aceh dengan cara bergelak tawa yang sesungguhnya pahit mengiris jiwa.
Memang, sesungguhnya kekuasaan sangat dekat dengan kejahatan. Lampuki
sangat luar biasa. Bravo, Arafat!"
—Sulaiman Juned, penyair,
kolumnis, dramawan, sutradara teater, pendiri Komunitas Seni Kuflet, dan
dosen teater Institut Seni Indonesia Padangpanjang
"Meskipun
Arafat menceritakan tokoh-tokoh pesong dari kampung Lampuki,
sesungguhnya dia sedang membahasakan perangai anak manusia yang bisa
kita temukan di belahan bumi mana pun dan pada zaman kapan pun ... Dalam
Lampuki kita menemukan kisah universal yang ditulis begitu sederhana,
lugas, dan mudah dipahami setiap orang. Penulisnya saya yakin suatu hari
nanti akan mendunia."
—D. Kemalawati, sastrawan dan guru, tinggal di Banda Aceh
“Sejarah
lebih sering mencatat hal-hal besar, sastrawan perlu mengambil peran
mencatat hal-hal yang tidak ditangkap oleh mata formal sejarah. Arafat
telah berusaha mencatat fragmen-fragmen kecil dari sebuah ritus sejarah
di Aceh.”
—Dianing Widya Yudhistira, novelis, tinggal di Jakarta
“Saya
yakin Lampuki menjadi novel paling menonjol tahun ini dan bakal
bertahan lama sebab ceritanya mirip gaya penulis dunia. Benar-benar
novel yang cerdas, sanggup memukau dari awal sampai akhir.”
—Fikar W. Eda, penyair dan wartawan, tinggal di Jakarta
“Lampuki
memiliki keteraturan diksi dan kehati-hatian pemilihan kalimat. Ada
kesadaran pascakolonial dalam bernarasi yang tidak tunduk pada bahasa
pop pasaran. Ceritanya kadangkala kelu dan muram, tetapi memang
begitulah warna dalam kehidupan nyata ...”
—Teuku Kemal Fasya, esais, dosen antropologi Universitas Malikussaleh, Banda Aceh
"Lampuki
disajikan dengan cara berbeda dari kebanyakan karya sastra di
Indonesia. Penceritaannya sangat kuat dengan bahasa yang membumi. Arafat
piawai mengambil jarak dengan semua tokoh dan peristiwa, tetapi
kisahnya sangat dekat dengan kita semua."
—Ayi Jufridar, jurnalis dan novelis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar