AWAN hitam merangkak pelan. Awan
seperti itu setiap hari mengancam pada musim hujan dan merupakan isyarat
tak lama lagi hujan akan mencurah deras. Curah hujan belakangan ini
memang tinggi. Banjir dan genangan air kemudian menyusul di beberapa
tempat.
Kimpul belum bergerak dari tempat duduknya. Sejak pukul
delapan pagi hingga pukul dua belas tengah hari itu belum seorang pun
singgah dan meminta jasanya. Biasanya, ia baru bergerak setelah hujan
rintik-rintik turun dan berlari jika rintik-rintik air itu bertambah
besar. Terkadang ia terpaksa siap untuk basah kuyup karena hujan deras
mendadak turun tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk berlindung di
tempat berteduh.
Tempat berteduh yang nyaman bagi Kimpul adalah Stasiun
Besar di seberang jalan raya yang jaraknya kira-kira tiga puluh meter
dari tempatnya bekerja. Ke sanalah ia berlari dan berlindung selama
hujan mencurah. Berlari dan berlindung seperti itu setiap hari harus
dilakukannya selama musim hujan. Jika hujan tidak lagi berderai Kimpul
kembali ke tempatnya semula, menunggu siapa saja yang membutuhkan
jasanya.
Kimpul masih menunggu dan berharap. Mudah-mudahan ada
orang yang singgah ke tempatnya walaupun hanya satu orang karena selama
dua hari belakangan ini tidak seorang pun menyapanya dan duduk di kursi
di depannya. Ia menatap toko-toko buku baru dan buku bekas yang berjejer
tidak jauh di depannya, toko-toko yang menghambat pemandangan ke
lapangan di belakangnya. Dulu, semua toko buku itu tidak ada dan setiap
orang yang berada di Stasiun Besar, yang sedang melangkah atau
berkendaraan di jalan raya atau berdiri di tempat Kimpul duduk saat itu,
dengan leluasa dapat melihat lapangan di belakang toko-toko buku itu.
Di keempat sisi lapangan rumput itu terdapat parit yang
membatasi lapangan dengan lahan kosong yang lebarnya lima belas meter di
sekeliling lapangan. Tidak sedikit orang lalu lalang di lahan kosong
ini, karena di sana banyak gerobak yang menjual makanan dan minuman.
Para penumpang kereta api dari luar kota yang turun di Stasiun Besar
umumnya makan dan minum di lahan kosong ini.
Pada tengah hari, para penjual obat kaki lima
berteriak-teriak berkampanye di lahan kosong yang teduh di bawah
kerimbunan pohon-pohon besar yang telah puluhan tahun berdiri di sana.
Semua penjual obat berlomba memamerkan kehebatan mereka berorasi agar
pengunjung yang melingkar di sekitar mereka mau membeli obat yang mereka
jajakan. Dan, setiap orasi pastilah memuji kemujaraban obat. Begitu
orasi selesai biasanya ada saja pengunjung yang langsung membeli obat
mereka.
Masih erat melekat dalam ingatan Kimpul bahwa seorang
penjual obat kaki lima itu berhasil meningkatkan diri menjadi bintang
film. Semula ia hanya menjadi figuran dalam film “Lewat Jam Malam” yang
disutradarai Usmar Ismail. Ia kelihatan beberapa detik di layar putih,
karena hanya berperan sebagai orang yang harus berjalan kaki dari sebuah
pintu ke pintu lain yang jaraknya hanya tujuh meter. Tapi, setelah itu
ia muncul dalam beberapa film lain sebagai pemeran utama. Hebat si
Djoni, ujar Kimpul kepada dirinya sendiri.
Begitu cepatnya keadaan berubah, Kimpul membatin. Dulu,
lapangan luas itu selalu digunakan untuk tempat berbagai rapat umum dan
upacara peringatan hari kemerdekaan sambil mendengarkan pidato Bung
Karno. Ribuan murid sekolah SMP dan SMA diwajibkan hadir di sana untuk
mendengarkan pidato berapi-api Pemimpin Besar Revolusi yang gagah itu.
Di selatan lapangan rumput itu terdapat hotel megah
peninggalan penjajah Belanda. Kini hotel itu tidak kelihatan lagi karena
telah berganti dengan gedung milik sebuah bank dengan lapangan parkir
yang luas. Di utara lapangan, di Jalan Rumah Bola, terdapat sebuah
tempat pertemuan orang-orang Belanda yang setelah kemerdekaan diberi
nama Balai Prajurit. Balai itu sirna sudah karena di lokasi itu telah
dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang senantiasa rampai pengunjung.
Kimpul merasa perubahan terjadi begitu cepat tanpa
menyadari bahwa ia telah empat puluh tahun menjual jasanya di pinggir
lapangan itu sejak berusia dua puluh lima tahun. Karena kondisi yang
berubah ini, nasib Kimpul turut berubah. Kalau dulu banyak orang yang
satu profesi dengan Kimpul bekerja di bawah pohon rindang di pinggir
lapangan, kini hanya dia dan seorang lagi yang masih menawarkan jasa di
sana. Kalau dulu tanah kosong yang mengelilingi lapangan terasa teduh
karena beberapa pohon rimbun berdiri kukuh di sana, kini tanah kosong
itu lenyap sudah karena seluruhnya ditelan ruko-ruko yang beroperasi
hingga malam hari. Cahaya matahari langsung jatuh di toko-toko buku itu,
karena sebagian pohon telah ditebang.
Sekarang, lahan kosong pun semakin sempit. Di lahan
kosong yang sempit itulah Kimpul dan seorang temannya membuka praktik
sebagai pemotong rambut yang lazim disebut tukang pangkas. Dengan hanya
bermodalkan sebuah kursi lipat, sebuah cermin yang diikatkan ke sebuah
tiang, seperangkat alat pemotong rambut yang dibawanya di sebuah tas
kecil yang kumuh dan sebotol air, ia siap melayani siapa saja hingga
menjelang magrib.
Awan hitam yang merangkak tidak lagi kelihatan. Hujan
juga tidak jadi berkunjung. Hari kembali cerah hingga sore hari. Kimpul
masih menunggu. Ternyata tidak ada orang yang ingin meminta jasanya
untuk memangkas rambut. Ketika magrib memperlihatkan wajahnya, Kimpul
mengambil cermin dari tiang yang dipancangnya, mencabut tiang itu,
melipat kursi yang sejak pagi didudukinya, mengambil tas kumuh yang
berisi alat-alat cukur dan membuang air yang tersimpan dalam botol.
Setelah itu dengan mengayuh sepeda ia pulang tanpa memperoleh uang
sepeser pun seperti dua hari sebelumnya.
***
Ketika Kimpul terangguk-angguk karena mengantuk, ia
mendengar seseorang memanggil namanya. Ia segera membuka mata dan
berdiri. Seorang lelaki muda berusia sekitar tiga puluh lima tahun
berdiri di depannya sambil tersenyum. Ia menyilakan laki-laki itu duduk
di kursi lipat yang sebelumnya didudukinya. Kimpul menduga laki-laki itu
akan memotong rambut. Laki-laki itu menolak dengan sopan dan tetap
berdiri.
“Pak Kimpul, kan?” kata lelaki muda itu bertanya.
“Benar, saya Kimpul”.
“Masih kenal saya, Pak?”
Kimpul menatap laki-laki itu, memperhatikannya dan
mencoba menggali ingatannya. Ia tidak berhasil. Karena itu ia menggeleng
dengan sopan.
“Saya Dasuki.”
“Dasuki?” Kimpul kembali mencoba membangunkan memorinya. Sekali lagi ia tidak berhasil.
“Tidak apa-apa, Pak, kalau tidak ingat. Maklum peristiwanya sudah lama sekali. Lima tahun. Cukup lama memang.”
Kimpul semakin tidak mengerti semua yang diucapkan
laki-laki itu. Jangan-jangan dia salah alamat. Mungkin saja yang
dicarinya memang Kimpul, tapi Kimpul yang lain. Laki-laki yang menyebut
namanya Dasuki itu tidak ingin melihat wajah Kimpul yang bengong seperti
itu.
“Lima tahun lalu saya pangkas di sini. Pak Kimpul yang
memotong rambut saya. Ketika Bapak akan mencukur janggut, kumis dan
cambang saya, tiba-tiba turun hujan deras. Saya menyambar sepeda motor
dan segera memacunya ke stasiun itu untuk berteduh,” katanya sambil
menunjuk ke arah Stasiun Besar. Kimpul mendengarkan dengan serius.
“Saya melihat Pak Kimpul berkemas dan membawa semua
peralatan Bapak ke stasiun. Cuma, karena banyak orang di sana, saya
benar-benar tidak tahu di mana persisnya Pak Kimpul berteduh. Hingga
hujan berhenti dan semua orang meninggalkan emper stasiun, saya juga
tidak melihat Pak Kimpul. Karena saya harus segera kembali ke kantor,
saya tidak kembali lagi ke tempat Bapak bekerja. Saya langsung pergi
dengan janggut, kumis dan cambang yang belum dicukur. Saya buru-buru
karena mempersiapkan kepindahan saya ke Jakarta dua hari setelah itu.”
Kimpul masih dengan tekun mendengarkan penjelasan orang yang bernama Dasuki itu.
“Lima tahun saya terganggu karena belum membayar ongkos
pangkas rambut itu. Karena itu hari ini saya sempatkan ke sini, pada
saat saya sedang bertugas ke kota ini. Saya ingin membayar utang saya
itu.”
Begitu selesai mengucapkan kalimat itu ia mengambil uang
dari sakunya dan menyerahkan Rp 100.000 kepada Kimpul. Karena Kimpul
masih tidak memahami cerita laki-laki itu, ia diam saja dan tidak berani
menerima uang yang diulurkan kepadanya. Dasuki memberikan uang itu ke
tangan Kimpul dan menggenggamkannya.
“Permisi, Pak Kimpul, saya harus pergi sekarang untuk
rapat. Kalau sempat saya akan datang lagi,” kata orang yang bernama
Dasuki itu sambil melangkah pergi.
Kimpul merasa uang yang tergenggam di tangannya itu
bukan miliknya. Ia pasti salah alamat, pikir Kimpul. Karena itu Kimpul
buru-buru berjalan ke arah laki-laki itu pergi. Setelah itu ia
berlari-lari kecil di keempat sisi lapangan, namun laki-laki tidak
ditemukannya. Ia kembali ke tempatnya bekerja dengan napas
tersengal-sengal. Kimpul benar-benar tidak tahu apa yang akan
dilakukannya dengan uang Rp 100.000 di tangannya itu.
Ia berpikir keras dan menggedor ingatannya. Akhirnya ia
sampai kepada kesimpulan bahwa semua yang diungkapkan laki-laki itu
tidak benar dan tidak pernah terjadi. Ingatannya cukup kuat untuk
mengetahui semua itu. Lalu mengapa ia memberikan Rp 100.000 sedangkan
biaya pangkas lima tahun lalu cuma Rp 5.000. Kimpul bergumam, dari mana
pula orang bernama Dasuki itu tahu namaku, padahal aku tidak pernah
menyebutkan namaku kepada pelanggan karena memang tidak ada yang pernah
bertanya.
***
“Bagaimana, Das? Ketemu dengan orang yang kamu cari?”
“Tidak,” sahut Dasuki menjawab pertanyaan istrinya.
“Lalu bagaimana?”
“Aku mengelilingi lapangan itu. Hanya dua orang tukang
pangkas yang aku temukan. Yang satu masih muda dan yang seorang lagi,
aku rasa berusia lebih dari enam puluh tahun. Mungkin sekitar enam puluh
lima tahun. Sebelum aku menghampiri orang tua itu aku bertanya dulu
kepada penjaga toko buku bekas yang kumasuki sebelumnya. Dialah yang
memberikan nama Kimpul itu kepadaku.”
Dasuki menunggu reaksi istrinya. Istri Dasuki menunggu kelanjutan cerita suaminya.
“Lalu aku datangi orang tua itu dan kuberikan Rp
100.000. Aku ceritakan alasan mengapa aku memberikan uang itu. Dia
bengong dan mulanya tidak mau menerima uang itu. Tapi aku berikan uang
itu kepadanya dengan menggenggamkannya. Setelah itu aku pergi dan
berjanji akan datang lagi kalau aku masih punya waktu luang.”
“Kamu yakin bukan itu orang yang kamu cari?”
“Aku belum lupa wajah orang yang dulu memangkas
rambutku. Pipinya kempot, kepalanya botak dan tubuhnya ceking. Aku
melihatnya begitu aku selesai makan gado-gado yang enak di pinggir
lapangan itu. Karena kasihan aku segera menghampirinya, duduk di kursi
kayunya dan memintanya memotong rambutku. Padahal sebelumnya aku berniat
memotong rambut di barber shop di sebelah kantorku. Hanya
karena aku ingin makan gado-gado dulu makanya aku pergi ke pinggir
lapangan itu, bertemu dengan orang tua itu, jatuh kasihan dan memintanya
memangkas rambutku.”
Melihat Dasuki menceritakan hal itu dengan lancar
istrinya tersenyum dan tidak bertanya apa pun. Dasuki yang merasa perlu
memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Orang yang kuberi Rp 100.000 itu berambut lebat,
beruban dan tidak kurus. Tapi dengan memberikan uang itu aku merasa
utangku telah terbayar.”
“Kamu yakin akan merasa tenang setelah membayar utang itu walaupun bukan kepada orang yang berhak menerimanya?”
Lama Dasuki menunduk dan terdiam. Kemudian ia menengadah dan menatap istrinya.
“Aku tidak tahu. Aku harapkan begitu.” (*)
(Kompas, 20 November 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar