JAM meja memekik-mekik membangunkan
Flayya. Tangannya yang selicin pualam itu bergerak spontan hendak
mematikan alarm, melanjutkan kembara mimpi dari ranjang kamar
apartemennya yang asri. Namun sel-sel otaknya mengingatkan ada
pergantian jadwal siaran, sehingga dia harus siap di studio dalam waktu
60 menit ke depan. Badan lampainya melayang turun menuju kamar mandi,
sembari menanggalkan secuil busana yang masih tersangkut di ranum raga.
“Astaga!” pekik Fla saat melihat lidahnya di cermin. Daging lembut merah muda itu dipenuhi kerumunan ulat yang menggeliat. Isi perutnya bergolak, memberontak dalam semburan brutal yang mengubur wastafel putih gading di depannya menjadi entah apa warnanya. Dibukanya keran air panas sebesar-besarnya untuk mengusir anyir. Dipandanginya lagi cermin. Jumlah ulat tak berkurang di mulutnya, terus menggeliat.
“Astaga!” pekik Fla saat melihat lidahnya di cermin. Daging lembut merah muda itu dipenuhi kerumunan ulat yang menggeliat. Isi perutnya bergolak, memberontak dalam semburan brutal yang mengubur wastafel putih gading di depannya menjadi entah apa warnanya. Dibukanya keran air panas sebesar-besarnya untuk mengusir anyir. Dipandanginya lagi cermin. Jumlah ulat tak berkurang di mulutnya, terus menggeliat.
Di tempat lain, setengah jam bermobil jauhnya dari
klinik, Romero sang legislator sudah semalaman begadang menyempurnakan
daftar pertanyaan dengar pendapat yang akan ditayangkan langsung
televisi swasta tempat Flayya bekerja. Sebagai anggota dewan yang lebih
sering tampil di layar infotainment ketimbang menghadiri rapat komisi, Rom sangat paham bahwa acara ini sebuah kesempatan emas untuk menyepuh popularitas.
Tiba-tiba ujung matanya menangkap gerakan aneh di bibir
cangkir kopi. Kedut seekor ulat tengah berjuang mengangkat tubuhnya yang
gendut. Tak percaya, Rom melongok isi cangkir kopi luwak itu.
Badannya sontak menggigil: isi cangkir tak ubahnya sauna
ulat. Rom memasukkan jari telunjuk ke dalam mulutnya, baru menyadari
ada kedutan yang sama di sana. Dengan panik diambilnya ponsel, menekan
tombol panggilan cepat. Tak ada jawaban yang diharapkan dari seberang.
Rom mengetik pesan pendek, dengan degup jantung melebihi kecepatan mobil
dinasnya melesat di jalan tol.
***
Dokter jaga tak bisa memberikan diagnosis akurat
penyakit Fla, selain menebar sejumlah dugaan. “Penyebabnya bisa dari
makanan, infeksi lingkungan, atau akibat kontak mulut dengan orang lain
yang sedang terjangkit,” katanya seperti mengutip buku teks. Kalimat itu
sudah cukup membuat Fla melakukan kalkulasi, (1) Dari makanan jelas
mustahil. Semalam dia makan bersama tiga narasumber tayangan talk show
yang dipandunya di studio, dan tak ada kabar mereka sakit. (2)
Terjangkit infeksi lingkungan juga tak mungkin, sebab sehabis siaran dia
langsung pulang. Atau lebih tepatnya, diantar pulang tanpa mampir ke
mana pun.
Jadi… mungkinkah?
Dada mancung Fla bergemuruh. Pandangannya menyusuri
layar ponsel, menemukan notifikasi pesan pendek yang belum sempat
dibacanya: dari Rom.
Luv, kauy ta akn percya. Tem ui ku @ Medici Int’l hosptl. Soon!
Sebuah pesan pendek yang hancur lebur dan meledakkan
cemas: Mungkinkah Rom juga terjangkit? Atau justru dirinya yang
terinfeksi oleh lelaki beranak dua dari dua istri berbeda itu? Mereka
memang sempat bertukar saliva dalam beberapa menit yang bergelora
sebelum berpisah, ketika Rom mengelus perutnya semalam.
Ponselnya kembali berdenting memberitahu pesan masuk yang baru. Dari Sekretariat Redaksi tempatnya bekerja:
Mbak Fla, pak Muiz terkena infeksi mulut serius.
Juga mas Gazi & mbak Aline. Pemred bilang mbak segera check-up.
Ambil cuti dulu.
Sinting! Muiz adalah Produser Eksekutif dan Gazi juru
kamera. Dengan keduanya Fla tak pernah memiliki hubungan asmara. Lalu,
bagaimana pula Aline, asisten produser yang jarang bicara, bisa
terjangkit penyakit serupa?
Dua jam kemudian televisi berlomba-lomba memberitakan stop press yang tak lazim: penyakit misterius menyerang mulut warga.
Ada yang memberitakan heboh di sebuah TK, ketika para
bocah yang antre makan menjerit ngeri melihat tempat makan mereka
dipenuhi ulat yang sempat mereka kira potongan cakwe. Tak satu pun dari
mereka yang tahu bahwa bencana pagi itu dimulai dari rumah Bagas, anak
Muiz, yang sempat tak mau sarapan kecuali disuapi sang ayah.
Kanal TV lain mewartakan kegemparan di sebuah kampus
ketika dari mulut pengajar Filsafat Politik berhamburan ulat yang
membuat banyak mahasiswi pingsan ketakutan. Saluran televisi tempat Fla
bekerja menyajikan tayangan paling mencekam: Guru Kalip sekarat di
ranjang rumah sakit. Padahal semalam, Guru Kalip masih bersemangat dalam
acara talk show berjudul “Mengupas Akar Korupsi Massal dan Erosi Moral” yang dipandu Flayya.
Merosotnya kesehatan Guru Kalip membuat seluruh saluran
televisi membatalkan acara yang sudah mereka programkan. Tak ada siaran
langsung dengar pendapat dari gedung Parlemen, karena Guru Kalip adalah
guru dari semua guru yang pernah mengajar anggota Dewan. Ketika konflik
sosial pecah di beragam tempat, Guru Kalip juga yang menjadi tumpuan
akhir banyak pihak, hingga tak sedikit yang menjulukinya sebagai
‘Mercusuar Nurani Bangsa’.
Awak media massa berlomba-lomba mewawancarai lusinan
dokter ahli untuk mendapatkan informasi akurat tentang penyakit Guru
Kalip. Apalagi setelah dari menit ke menit, rumah sakit terus kebanjiran
pasien dengan gejala serupa di bagian mulut.
Dua jam sebelum mentari bertengger di pucuk hari, muncul
keterangan resmi dari Wali Negeri bahwa bencana nasional sedang
terjadi. Warga dianjurkan tetap di rumah, mengikuti perkembangan keadaan
melalui televisi dan sebuah situs web.
Keadaan Guru Kalip kian memburuk. Lidahnya sudah
membusuk sampai ke pangkal. Tim dokter memutuskan, lidah itu harus
dibuang. Guru Kalip menolak dengan alasan yang membuat alis para dokter
melengkung keheranan. “Ulat-ulat itu juga hamba Tuhan yang harus
disayangi dengan cinta sejati. Mereka tak boleh dibunuh semena-mena.
Pasti ada alasan mengapa Tuhan menempatkannya di lidah saya, seperti
Tuhan pernah menempatkan mereka bertahun-tahun di kulit Ayub manusia
mulia.”
“Apa maksudnya?” tanya wartawan yang merekam wajah Sang
Guru dari kejauhan, karena jijik dan mual melihat gerombolan ulat yang
seakan tak ada habisnya di dalam mulut tua yang, anehnya, selalu
tersenyum itu.
“Kebenaran akan mengungkapkan dirinya sendiri,” ujar Guru Kalip. Sesaat kemudian jiwanya bercerai dari badan.
Kepanikan langsung menggila karena dokter terahli pun
masih belum tahu wabah yang terjadi. Wartawan yang mewawancarai istri
Guru Kalip hanya mendapatkan jawaban singkat, “Ulat-ulat itu baru muncul
kemarin, setelah pagi harinya Guru Kalip bertemu empat mata dengan Wali
Negeri,” jawab sang istri.
Tiga jam berikutnya pemakaman Guru Kalip dimulai dengan
tembakan salvo dan rangkaian acara kenegaraan. Wali Negeri menyampaikan
belasungkawa yang disiarkan langsung oleh seluruh saluran televisi.
“Hari ini kita kehilangan sosok luar biasa yang selalu jujur dalam
bicara dan bertindak. Negeri kita karam dalam duka mendadak yang lebih
perih dari segala pedih penyebab sedih,” katanya dengan ekspresi seperti
sedang berdeklamasi.
“Yang membuat saya, Wali Negeri, lebih bersedih hati
adalah karena munculnya desas-desus bahwa penyakit misterius Guru Kalip
muncul beberapa saat setelah Guru bertemu empat mata dengan saya.
Akibatnya, muncul tuduhan-tuduhan tak bertanggung jawab bahwa sayalah
yang sebenarnya membuat Guru Kalip jatuh sakit. Saya nyatakan itu tidak
benar!” ujar Wali Negeri dengan suara menggelegar. “Itu fitnah tak
bertanggung jawab!”
Flayya yang sudah tergolek lemah di ranjang rumah sakit
terbelalak ketika melihat seekor ulat melayang dari mulut Wali Negeri
yang sedang merintih sedih, “Baiklah saya ungkapkan di sini, di hadapan
rakyat yang saya cintai, bahwa yang saya sampaikan kepada Guru Kalip
hanyalah imbauan agar selalu menyampaikan kebenaran setiap saat, di
setiap tempat.”
Tiga ekor ulat mendadak nemplok di layar
televisi. Mengira dirinya berhalusinasi, Fla memindahkan saluran ke
kanal berbeda dan melihat Wali Negeri sedang mengepalkan tangan dengan
suara membahana. “Hal terpenting yang saya sampaikan kepada Guru Kalip
adalah untuk terus mengingatkan masyarakat bahwa hukum dan keadilan
harus dijunjung tinggi, meski harus mengorbankan keluarga dan orang yang
kita cintai!”
Puluhan ulat berukuran besar dan kecil terus beterbangan
dari mulut Wali Negeri selama dia bicara, semakin memenuhi layar
televisi yang hanya menyisakan sedikit bidang bersih.
Marah dan jijik melihat ulat-ulat terus menggeliat ke
mana pun dia memindahkan saluran, Fla hampir mematikan televisi ketika
melihat sebaris teks berjalan: Legislator Romero meninggal dunia dengan
gejala yang sama seperti dialami Guru Kalip.
Mata perempuan seindah mutiara itu langsung membasah,
hatinya berdarah. Ingin rasanya dia berteriak menuntut kepada Tuhan agar
kekasihnya kembali dihidupkan. Tetapi ulat-ulat laknat di dalam
mulutnya yang terus menggeliat sudah mengunyah lebih dari separuh
lidahnya. Dia tak bisa lagi berkata-kata mesti begitu ingin.
Dicobanya lagi untuk mengeluarkan suara. Namun yang
datang hanyalah kenangan saat Romero mengelus perutnya semalam. “Setelah
anak kita ini lahir Fla, hanya kau satu-satunya perempuan yang tercatat
dalam akta nikahku. Guru Kalip akan memimpin pernikahan kita, dan Wali
Negeri sudah bersedia menjadi saksi. Tidakkah itu menjadikanmu sebagai
perempuan paling berbahagia di muka bumi ini, Cinta?” (*)
(Kompas, 16 Oktober 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar