SETIAP kali akan sembahyang,
sebelum sempat menggelar sajadah untuk sembahyang, Karmain selalu
ditarik oleh kekuatan luar biasa besar untuk mendekati jendela, membuka
sedikit kordennya, dan mengintip ke bawah, ke jalan besar, dari
apartemennya di lantai sembilan, untuk menyaksikan laki-laki pemanggul
goni menembakkan matanya ke arah matanya.
Tidak tergantung apakah fajar, tengah hari, sore, senja, malam,
ataupun selepas tengah malam, mata laki-laki pemanggul goni selalu
menyala-nyala bagaikan mata kucing di malam hari, dan selalu
memancarkan hasrat besar untuk menghancurkan.
Tubuh laki-laki pemanggul goni tidak besar, tidak juga kecil, dan
tidak tinggi namun juga tidak pendek, sementara goni yang dipanggulnya
selamanya tampak berat, entah apa isinya. Pada waktu sepi, laki-laki
pemanggul goni pasti berdiri di tengah jalan, dan pada waktu jalan
ramai, pasti laki-laki pemanggul goni berdiri di trotoir, tidak jauh
dari semak-semak, yang kalau sepi dan angin sedang kencang selalu
mengeluarkan bunyi-bunyian yang sangat menyayat hati.
Beberapa kali terjadi, ketika jalan sedang ramai dan laki-laki
pemanggul goni menembakkan mata kepadanya, Karmain dengan tergesa-gesa
turun, lalu mendekati semak-semak dekat trotoir, tetapi laki-laki
pemanggul goni pasti sudah tidak ada lagi. Dan ketika Karmain bertanya
kepada beberapa orang apakah mereka tadi melihat ada seorang laki-laki
pemanggul goni, mereka menggeleng.
Apabila hari masih terang, beberapa kali laki-laki pemanggul goni
membaur dengan orang-orang yang sedang menunggu bus, sambil menembakkan
matanya ke arah Karmain. Tapi, ketika Karmain tiba di tempat
orang-orang yang menunggu bus, laki-laki pemanggul goni sudah tidak
ada, dan orang-orang pasti menggelengkan kepala apabila mereka ditanya
apakah tadi mereka menyaksikan ada laki-laki pemanggul goni.
Pada suatu hari, ketika hari sudah melewati tengah malam dan Karmain
sudah bangun lalu membersihkan tubuh untuk sembahyang, korden jendela
seolah-olah terkena angin dan menyingkap dengan sendirinya. Maka
Karmain pun bergegas mendekati jendela, dan menyaksikan di bawah sana,
di tengah-tengah jalan besar, laki-laki pemanggul goni berdiri
membungkuk mungkin karena goninya terlalu berat, sambil menembakkan
matanya ke arah dirinya. Kendati lampu jalan tidak begitu terang,
tampak dengan jelas wajah laki-laki pemanggul goni menyiratkan rasa
amarah, dan menantang Karmain untuk turun ke bawah.
Karena sudah terbiasa menyaksikan laki-laki pemanggul goni
bertingkah, dengan lembut Karmain berkata: “Wahai, laki-laki pemanggul
goni, mengapakah kau tidak naik saja, dan ikut bersembahyang bersama
saya.” Kendati jarak antara jendela di lantai sembilan dan jalan besar
di bawah sana cukup jauh, tampak laki-laki pemanggul goni mendengar
ajakan lembut Karmain. Wajah laki-laki pemanggul goni tampak
berkerut-kerut marah, dan matanya makin tajam, makin menyala, dan makin
mengancam.
“Baiklah, laki-laki pemanggul goni, kalau kau tak sudi naik dan
sembahyang bersama saya, tunggulah saya di bawah. Saya akan sembahyang
dulu. Sejak saya masih kecil sampai dengan saatnya ibu saya akan
meninggal, ibu saya selalu mengingatkan saya untuk sembahyang dengan
teratur lima kali sehari. Fajar sembahyang satu kali. Itulah sembahyang
subuh. Tengah hari sembahyang satu kali. Itulah sembahyang lohor. Sore
satu kali, itulah sembahyang ashar. Senja satu kali. Itulah sembahyang
maghrib. Malam satu kali. Itulah sembahyang isya. Lima kali sehari. Dan
kalau perlu, enam kali sehari, tambahan sekali setelah saya bangun
lewat tengah malam dan akan tidur lagi. Itulah sembahyang tahajud. Dan
kamu selalu mengawasi saya, seolah-olah kamu tidak tahu apa yang patut
aku lakukan dan apa yang tidak patut aku lakukan.”
Dengan tenang Karmain menutup korden, namun karena sekonyong-konyong
angin bertiup keras, korden menyingkap kembali. Laki-laki pemanggul
goni tetap berdiri di tengah jalan, tetap menampakkan wajah penuh kerut
menandakan kemarahan besar, dan tetap menembakkan matanya dengan nyala
mengancam. Di sebelah sana, dekat trotoir di sebelah sana, semak-semak
bergoyang-goyang keras tertimpa angin, dan mengirimkan bunyi-bunyi yang
benar-benar menyayat hati.
Karmain melayangkan pandangannya ke depan, ke gugusan
apartemen-apartemen besar, dan tampaklah semua lampu di apartemen sudah
padam, sejak beberapa jam yang lalu. Lampu yang masih menyala hanyalah
lampu-lampu di gang-gang yang menghubungkan apartemen-apartemen itu,
sementara lampu merah di tiang tinggi di sebelah sana itu,
berkedip-kedip seperti biasa, seperti biasa menjelang hari menjadi
gelap, atau mendung, atau hujan lebat.
Seperti biasa pula, lampu di tempat pemberhentian bus menyala,
sebetulnya terang, tetapi tampak redup. Selebihnya sepi, kecuali angin
yang tetap menderu-deru. Karmain pindah ke kamar lain, yang korden
jendelanya ternyata juga terbuka, kemudian melihat jauh ke sana. Di
sana itu, ada laut, dan meskipun gelap, terasa benar bahwa laut
benar-benar sedang gelisah.
Sembahyang selesailah, lalu Karmain mendekati jendela, dan laki-laki
pemanggul goni masih di sana, masih menunjukkan wajah marah, masih
menembakkan pandangan mengancam. Maka Karmain turunlah. Dan ketika
Karmain tiba di tepi jalan, laki-laki pemanggul goni tidak ada. Angin
masih bertiup keras. Seekor anjing hitam, besar dan tinggi tubuhnya,
mengawasi Karmain sekejap, kemudian menyeberang jalan, dan di tengah
jalan berhenti lagi sebentar, mengawasi Karmain lagi, lalu lari ke arah
kegelapan. Lalu terdengar lolongan-lolongan anjing, lolongan kesakitan,
lolongan pada saat-saat meregang nyawa.
Dulu, ketika masih kecil, Karmain bersahabat karib dengan Ahmadi,
Koiri, dan Abdul Gani, semuanya dari kampung Burikan. Dan di kampung
Burikan tidak ada satu orang pun yang memelihara anjing, dan anjing
dari kampung-kampung lain pun tidak pernah berkeliaran di kampung
Burikan. Terceritalah, ketika mereka sedang berjalan-jalan di kampung
Barongan, mereka tertarik untuk mencuri buah mangga di pekarangan rumah
seseorang yang terkenal karena anjingnya sangat galak. Belum sempat
mereka memanjat pohon mangga, dengan sangat mendadak ada seekor anjing
hitam, tinggi dan besar tubuhnya, menyalak-nyalak ganas, kemudian
mengejar mereka.
Sebulan kemudian, anjing hitam bertubuh tinggi dan besar mati,
setelah terperangkap oleh racun hasil ramuan Ahmadi, Koiri, dan Abdul
Gani.
Karmain menunggu beberapa saat, sambil berkata lembut dan
perlahan-lahan: “Wahai, laki-laki pemanggul goni, di manakah kau
sekarang. Marilah kita bertemu, dan berbicara.”
Karena tidak ada kejadian apa-apa lagi, Karmain berjalan menuju
semak-semak, dan, meskipun tiupan angin sudah meredup, semak-semak
masih bergerak-gerak, menciptakan bunyi-bunyi yang menyayat hati.
Karmain kembali ke lantai sembilan, masuk ke dalam apartemen,
kemudian mencari berkas-berkas lama yang sudah lama tidak ditengoknya.
Setelah membuka-buka sana dan sini, Karmain menemukan album lama. Ada
foto ibunya ketika masih muda, seorang janda yang ditinggal oleh
suaminya karena pada hari raya Idul Adha, suaminya tertembak ketika
sedang berburu babi hutan bersama teman-temannya di hutan Medaeng. Ada
lima pemburu, termasuk dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk hutan
bersama-sama, kemudian melihat seekor babi hutan berlari kencang,
menabrak beberapa semak-semak. Untuk mengejar babi hutan itu, mereka
berpisah, masing-masing lari ke berbagai arah. Siapa di antara empat
temannya yang dengan tidak sengaja menembak ayah Karmain, atau justru
dengan sengaja menembaknya, tidak ada yang tahu.
Karmain terpaku pada foto ibunya sampai lama, kemudian, tanpa sadar,
dia terisak-isak. Dulu ibunya pernah bercerita, bahwa pada waktu-waktu
tertentu akan ada laki-laki pemanggul goni, mengunjungi orang-orang
berdosa. Pekerjaan laki-laki pemanggul goni adalah mencabut nyawa,
kemudian memasukkan nyawa korbannya ke dalam goni. Ibunya juga
bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak, pada tengah malam
laki-laki pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi
tanpa meninggalkan jejak.
“Pada hari Idul Adha,” kata ibu Karmain dahulu, sebelum ayahnya
pergi berburu. “Tuhan menguji kesetiaan Nabi Ibrahim. Anaknya, Ismail,
harus disembelih oleh ayahnya, oleh Nabi Ibrahim sendiri.”
Karmain tertidur, dan ketika terbangun, waktu sembahyang fajar sudah
tiba. Dan setelah Karmain membersihkan tubuh, siap untuk sembahyang,
korden jendela menyingkap lagi. Laki-laki pemanggul goni berdiri di
tengah jalan lagi, wajahnya menunjukkan kemarahan lagi, dan matanya
menyala-nyala, menantang lagi.
“Baiklah, laki-laki pemanggul goni, harap kamu jangan lari lagi.”
Dengan sangat tergesa-gesa Karmain turun, langsung ke pinggir jalan, dan laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada.
Ketika Karmain tiba kembali di apartemennya, ternyata laki-laki
pemanggul goni sudah ada di dalam, duduk di atas sajadah, melantunkan
ayat-ayat suci, sementara goninya terletak di sampingnya.
Setelah selesai berdoa, tanpa memandang Karmain, laki-laki pemanggul
goni berkata lembut: “Karmain, kamu sekarang sudah menjadi orang
penting. Kamu sudah menjelajahi dunia, dan akhirnya kamu di sini, di
negara yang terkenal makmur. Bahwa kamu tidak mau kembali ke tanah
airmu, bukan masalah penting. Tapi mengapa kamu tidak pernah lagi
berpikir tentang makam ayahmu? Tidak pernah berpikir lagi tentang makam
ibumu. Makam orangtuamu sudah lama rusak, tidak terawat, tanahnya
tenggelam tergerus oleh banjir setiap kali hujan datang, dan kamu tidak
pernah peduli.”
Laki-laki pemanggul goni berhenti sebentar, kemudian bertanya:
“Apakah kamu beserta sahabat-sahabatmu, Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, pernah tersesat di hutan Gunung Muria?”
“Ya.”
“Tahukah kamu ke mana sahabat-sahabatmu itu pergi?”
“Tidak.”
“Mereka saya ambil. Saya tahu, kalau mereka tidak saya ambil, pada
suatu saat kelak dunia akan gaduh. Gaduh karena, kalau tetap hidup,
mereka akan mengacau, membunuh, dan menyebarkan nafsu besar untuk
berbuat dosa. Saya tidak mengambil kamu karena kasihan. Kamu habis
kehilangan ayah. Ayah bejat. Pada saat seharusnya dia di masjid,
bersembahyang, dan kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing,
ayahmu berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tapi
mengejar-ngejar babi hutan untuk dibunuh. Ingatlah, pada hari Idul
Adha, ketika Nabi Ibrahim sedang menyembelih anaknya sendiri, Ismail,
datang keajaiban. Bukan Ismail yang disembelih, tapi kambing.”
Berhenti sebentar, kemudian laki-laki pemanggul goni bertanya dengan nada menuduh:
“Apakah benar, ketika kamu masih remaja, kamu menjadi penabuh beduk
masjid kampung Burikan? Setiap saat sembahyang tiba, lima kali sehari,
kamu menabuh beduk mengingatkan semua orang untuk sembahyang?”
Karmain ingat, ketika masih umurnya memasuki masa remaja, dia
bercita-cita, kelak kalau sudah dewasa, dia akan memiliki gedung
bioskop. Maka, dengan caranya sendiri, dia menciptakan
bioskop-bioskopan. Kertas tipis dia gunting, dia bentuk menjadi
orang-orangan. Lalu dengan tekun dia membuat roda kecil dari kayu.
Orang-orangan dari kertas tipis dia ikat pada benang, benang
ditempelkan pada roda kayu. Lalu dia memasang kertas minyak, menutup
semua jendela supaya gelap, menyalakan lilin, menggerak-gerakkan
orang-orangan. Dari balik kertas minyak terpantulah bayangan
orang-orangan. Mereka bisa berlari-lari, berkejar-kejaran, dan saling
membunuh, seperti yang terjadi pada tontonan wayang kulit.
Demikianlah, pada suatu hari, ketika sedang asyik-asyiknya bermain
bioskop-bioskopan, tiba-tiba Karmain ingat, waktu untuk menabuh beduk
sudah tiba. Maka berlarilah dia ke masjid, meninggalkan kertas-kertas
tipis berserakan di lantai. Seorang anak kampung Burikan pula, Amin
namanya, telah datang terlebih dahulu, dan telah menabuh beduk. Setelah
selesai sembahyang, Karmain dan beberapa orang pulang. Dalam perjalanan
pulang itulah, mereka melihat asap hitam pekat membubung ke langit.
Udara pun menjadi luar biasa panas.
Hampir seperempat rumah di kampung Burikan terbakar, dan dua laki-laki lumpuh meninggal, terjebak oleh kobaran-kobaran api.
“Karmain,” kata laki-laki pemanggul goni sambil menunduk, ”Janganlah
kamu pura-pura tidak tahu, kamu lari ke masjid, sementara lilin masih
menyala.”
Sunyi senyap, dan laki-laki pemanggul goni tetap tertunduk.
“Wahai, laki-laki pemanggul goni,” kata Karmain setelah terdiam agak
lama. “Ibu saya dulu pernah berkata, ada laki-laki pemanggul goni yang
sebenarnya, ada pula pemanggul goni yang sebetulnya setan, dan menyamar
sebagai laki-laki pemanggul goni.”
Laki-laki pemanggul goni tersengat, kemudian memandang tajam ke arah
Karmain. Wajahnya penuh kerut-kerut menandakan rasa amarah yang sangat
besar, dan matanya benar-benar merah, benar-benar ganas, dan
benar-benar menantang.
Setelah membisikkan doa singkat, Karmain berkata lagi: “Bagaimana
kamu bisa tahu, wahai laki-laki pemanggul goni, bahwa kelak Ahmadi,
Koiri, dan Abdul Gani akan menyebarkan dosa yang membuat orang-orang
tersesat?”
Laki-laki pemanggul goni, dengan kerut-kerut wajahnya dan nyala
matanya, dengan nada ganas berkata: “Hanya sayalah yang tahu apa yang
akan terjadi seandainya mereka saya biarkan hidup.”
“Wahai, laki-laki pemanggul goni, hanya Nabi Kidirlah yang tahu
apakah seorang anak kelak akan menciptakan dosa-dosa besar atau tidak.
Apakah kamu tidak ingat, Nabi Kidir menenggelamkan perahu seorang anak
muda yang tampan? Nabi Kidir tahu, kelak anak tampan ini akan menjadi
pengacau dunia. Dan Nabi Kidir pun mempunyai hak untuk
menghancurleburkan sebuah rumah mewah. Sebuah rumah mewah yang dihuni
oleh seorang bayi yang kelak akan membahayakan dunia.”
Dan Karmain ingat benar, dulu, menjelang kebakaran hebat melanda
kampung Burikan, kata beberapa orang saksi, laki-laki pemanggul goni
datang. Lalu, kata beberapa saksi pula, laki-laki pemanggul goni masuk
ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke luar, dan melemparkan
bola-bola api ke rumah Karmain. Dan setelah api berkobar-kobar ganas
menjilati sebagian rumah di kampung Burikan, beberapa orang dari
kampung Burikan dan kampung Barongan sempat melihat, laki-laki
pemanggul goni melarikan diri di antara lidah-lidah api yang makin
membesar. (Kompas, 26 Februari 2012)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar