28 Maret 2012

Cerpen Adi Zamzam: Lelaki Kucing Pasar

SEBUAH sudut di samping sebuah lapak tukang sol sepatu. Leret matanya meriap-riap begitu cahaya redup menemukan wajahnya. Belek menggumpal di kedua sudut matanya. Ia menggeliat sebentar, meregangkan kedua kaki depannya.
Seperti ada hewan buas dalam perutku. Karena hampir seharian tak kuberi jatah makan, ia menggigit-gigit dinding lambungku. Bau geliat pasar semakin membuatnya beringas, memaksaku segera melangkah ke arus keramaian. Aku harus bergegas karena keramaian itu biasanya hanya berlangsung tiga-empat jam saja.
Bulunya kelabu. Terlihat sangat kusam, penanda bahwa ia bukan piaraan. Ekornya tampak layu, mungkin lapar yang membuatnya begitu. Gelambir perutnya bergoyang-goyang saat ia melangkah gontai. Kedua matanya masih menyipit, mungkin menahan kantuk atau lapar.

Dia parkir di depan lelaki kurus tukang sol sepatu. Mengeong. Tapi langsung berjingkat melompat melarikan diri saat tukang sepatu itu mengacungkan tinggi-tinggi sepatu yang tengah dikerjakannya.
Kadang aku berpikir, alangkah tak adilnya hidup ini. Takdir seenak perutnya membagikan nasib kepada siapa saja tanpa minta persetujuan terlebih dahulu. Andaikan saja aku lahir sebagai anak orang mampu, tentu saja aku tak akan seperti ini—siang-malam nyalang mataku berburu kelengahan orang. Seperti kucing itu.

Tulang rusuknya terlihat kembang kempis. Ia terpaku di depan sebuah toko kue. Menjilat-jilat kaki kanan bagian depan, sambil sesekali melihat kerumunan orang yang berjubel di depan etalase toko itu. Sejenak kemudian ia mendekat ke arah kerumunan kaki-kaki mereka. Seorang perempuan cantik segera menjerit dan menendangnya ketika ia menggesek-gesekkan tubuhnya ke kaki putih mulusnya. Tak mau menyerah, ia coba kembali ke arah kaki-kaki tadi. Namun sebuah sapu meluncur deras, telak mengenai perutnya. Termeong-meong larilah ia membawa nasib.

Pasar semakin hiruk-pikuk seiring cahaya yang merambat naik ke puncak. Dan kuselipkan tubuhku di antara lalu-lalang yang penuh-sesak itu.
Kedua mataku mulai bergerilya.
Langkahnya terhenti ketika ia melihat seekor kucing tampan yang memamerkan diri di ambang pintu rumah majikannya. Sebuah rumah makan Padang. Bulu-bulunya yang licin dan berkilau, wajahnya yang bersih berbinar, dan perutnya yang tak menggelambir menandakan bahwa hidup tak pernah menyengsarakannya.
Ia duduk sejenak. Menunggu. Tampaknya ia tahu ada yang harus ditunggunya di situ.
Gadis itu!

Dari penampilan dan lenggang-lenggoknya aku yakin bahwa gadis berambut panjang berkulit langsat itu dimanjakan oleh hidup. Bau parfumnya membuatku berubah menjadi seekor lalat hijau yang mencium bau ikan asin. Aku terus menguntitnya. Merangsek, sedikit demi sedikit. Sebuah dompet yang ujungnya menyembul dan turut melenggang-lenggok di saku belakang celana jeans-nya tengah memenjarakan kedua mataku. Aku menunggu. Aku benar-benar menunggu ketika mata pasar sedikit lengah dengan keberadaanku.

Tubuhnya langsung tertegak begitu yang ditunggunya tiba. Si manja tampak acuh dengan kedatangan majikannya yang begitu murah hati. Ia pura-pura beranjak dari tempatnya menunggu nasib baik. Tapi sebenarnya ia tidak pergi. Kedua matanya bahkan semakin nyalang mengawasi kelengahan si manja. Ia hanya memutar langkah, mencari posisi terbaik untuk merebut nasib baik.

Ia merapat pada tembok. Mengendap-endap. Matanya tak pernah lepas dari sasaran. Selonjor ikan goreng yang lumayan besar tampak diacuhkan. Entah si manja sudah bosan atau memang karena tak lapar. Jaraknya dari sasaran kini hanya beberapa langkah saja.

Ketika si kucing kusam tiba-tiba melompat dari balik persembunyiannya, si manja tampak benar-benar terkejut. Ia berhasil menyambar sasarannya! Namun sayangnya ia mendapatkan jalan buntu ketika langkahnya terperangkap di bawah meja para pelanggan warung makan. Di pintu, si manja beserta majikannya telah menghadangnya. Bahkan semua mata dalam warung makan itu kini tengah menyasar ke arahnya.

Dan kupikir dompet itu benar-benar bagian nasib yang berpihak kepadaku! Ternyata itu adalah mata kail kesialan. Pantat perempuan itu begitu peka ternyata. Saat dompet itu telah berpindah ke tangan kiriku, dia menoleh dan langsung berteriak keras-keras.

Pada saat yang sama semua orang dalam warung makan itu menghardik kucing kusam itu. Ikan itu bukan lagi hal penting baginya. Dan aku, aku langsung mengambil langkah seribu. Kulempar saja dompet itu. Adapun kucing kusam itu berlari ke bawah meja terlebar. Sayangnya sang pemilik warung telah mendapatkan sapu!

Kulihat macam-macam benda teracung ke arahku. Amarah terdengar begitu nyaring. Mereka berhasil mengepungku!
Sebuah pukulan menghantam telak perutnya.
Nyeri dalam perutku semakin bertambah-tambah. Ia mencoba keluar dari bawah meja. Namun sebuah tendangan membuat tubuhnya terbentur ke kaki meja. Dan kepalaku berdarah.
Suara perutku tenggelam di antara riuh rendah amarah tak bermata.

Ketika kucing itu bangkit, aku harus berdiri. Ia masih berusaha mencari jalan keluar. Bukankah harapan masih terbentang selama nafasku masih sambung-bersambung? Ia melompat ke atas meja. Kuteriakkan “ampun, ampun”. Ia pikir telah menemukan sebuah celah di antara dua pot bunga, yang ternyata adalah sebuah kaca bening yang menipu mata. Kupikir mereka masih punya hati, maka berkali-kali kuteriakkan “ampun”. Ia tertangkap. Samar-samar telingaku mendengar, “Bakar! Bakar!”

Ia tahu kaki depannya patah. Dan aku terkulai lungkrah, seperti sampah. Ia tak menangis—entah karena memang tak bisa menangis ataukah tahu bahwa tangis itu sia-sia saja. Sudah kuikhlaskan tubuhku kepada dia yang menginginkannya. Kupejamkan mata, mungkin dalam gelap ada yang mau mengasihiku.
 .
MATA muda itu adalah mata yang penuh dendam. Entah kepada siapa dendam ia tujukan. Kepada hidup? Kepada kaki-kaki yang melecehkan dan membuatnya babak belur? Kepada nasib? Kepada kedua orangtuanya yang tak peduli akan jalan hidupnya? Ataukah kepada kebodohannya sendiri karena lengah saat bertindak?

Bagiku, kesialan semacam ini sudahlah biasa. Kaki patah? Ah, asalkan jangan kemauanku untuk terus hidup saja yang patah. Sebab, di depan sana pasti masih ada remah-remah ikan untukku, selama aku masih mau mencari.

Alis kirinya membiru, bengkak. Ada darah di bibirnya. Basah keringat membuat darah di sekujur luka merembes ke pakaiannya. Kedua matanya telah terkatup saat sejumlah orang yang dipanggil “polisi” mengamankannya dari badai amarah orang-orang pasar. Tubuhnya yang lungkrah diseret ke sebuah mobil. Dengan bunyi “nguing, nguing, nguing” mobil itu melaju, meninggalkan kerumunan orang yang masih menyumpah-nyumpah.

Terseok-seok kubawa nasib. Tak perlu kuhibur diri atas semua kesialan yang dihadiahkan hari ini kepadaku. Aku tahu aku harus ke mana. Mungkin di depan sana masih ada nasib baik yang menungguku.
Aku tahu rumah mobil itu tak jauh dari pasar. Ada sebuah pagar tinggi berhiaskan huruf-huruf yang berkilau jika tertimpa cahaya. Namun taman di depannya amatlah buruk. Kering-kerontang tak terurus. Tempat sampahnya juga buruk. Sering tak menyisakan remah-remah makanan untukku. Beda dengan pasar yang amat pemurah meski terkadang juga amat kejam.

Akhirnya kutemukan juga dirinya di sebuah ruangan yang penuh dengan suara nyaring “tik, tik, tik”. Pakaiannya basah-kuyub, namun tubuhnya telah bersih, sehingga memar-memar yang menghiasi tubuhnya tampak begitu nyata. Sebuah bentakan membuatnya duduk di sebuah kursi panjang. Ia hanya menunduk ke lantai saat bentakan-bentakan lainnya susul-menyusul.

Kugesek-gesekkan tubuhku ke kaki kirinya yang selamat dari luka-luka. Ingin kuhibur dirinya. Ketika mata keruhnya bertemu dengan mataku… ah, andai saja aku ini ibumu. Aku rasa kedua matanya bertelaga. Ketahuilah, bukan hanya dirimu yang memiliki nasib serupa ini, begitu aku mencoba berkata.
Kedua tangannya tiba-tiba saja bergerak ke arah kepalaku. Lembut sekali belaiannya.
Sepasang bersepatu berjalan ke arahnya dan mengulurkan sebuntal nasi, dan detik berikutnya remah-remah ikan ia suguhkan ke hadapanku.

Bahagia aku menggerak-gerakkan ekorku. Ya, ya. Bukankah seharusnya seperti ini? Aku tahu kau telah belajar dari hidup.

 (Koran Tempo, 25 Maret 2012)

Tidak ada komentar: