09 Januari 2012

Cerpen Sanie B. Kuncoro: Kredit Janda

PAGI datang. Cahaya matahari bergegas mengeringkan basah embun sisa semalam. Helai-helai daun yang lembab bergetar lembut pada reranting penumbuhnya, seolah siap bersegera menyerap sinar matahari sebagai menu sarapan untuk akar dan batang pohon. Serupa denganmu yang memantik api demi mematangkan hidangan sarapan.

Kau tambahkan sebilah kayu bakar pada lubang di antara potongan bata yang tersusun sebagai tungku. Segera api membesar, bertambah daya panasnya untuk mendidihkan sepanci air yang terjerang di atasnya. Kau lepas simpul karung beras, harus kau cuci beras itu dengan segera sebelum air mendidih. Namun gerak sigapmu terhenti, bayang tubuh kecil anakmu di ambang pintu dapur seketika membuatmu membeku.

Telah rapi anak itu dengan seragam sekolahnya. Seragam putih pudar  nyaris kekuningan. Anakmu selalu tampak nyaman mengenakan seragam pudar warna itu. Barangkali karena seragam itu terbuat dari kain katun yang justru makin lembut karena sering dicuci, ataukah pemakluman demi berusaha menyamankan diri karena tidak ada pilihan untuk memperbarui seragam itu? Entahlah, bisa jadi kedua alasan itu saling melengkapi.

Anakmu gelisah. Tatap matanya mengguratkan galau sekaligus tanya yang jelas terbaca. Sedemikian nyata kegelisahan itu nyaris merenggut rona kepolosan anak usia sepuluh tahun.
“Bagaimana, Mak?” ragu dia bertanya.
Lidahmu membatu. Tak ada padamu jawaban memadai dengan alasan yang layak. Anakmu menunggu, tegak berdiri dengan sikap yang takzim.
“Tidak ada uang, Nak,” jawabmu. Garing suaramu sekaligus tak berdaya pada saat yang sama.
“Bukankah semalam sudah ada uang itu? Mak simpan di lipatan stagen [1]?” Lagi anakmu bertanya. Kali ini suaranya seolah menggugat berbalut cemas.

Kau membisu. Benar, semalam uang itu tersimpan rapi pada lipatan terdalam stagen yang kau kenakan. Rapat dan erat stagen itu melapis perut tipismu, sama sekali tak menyembul apalagi memancing kecurigaan. Namun agaknya setiap lembar uang memiliki aroma tertentu sehingga terendus jejaknya oleh suamimu dan ikatan stagenmu tak berdaya menyembunyikannya lebih lama lagi. Tak cukup pula dayamu untuk mempertahankannya. Biru lebam pada pinggulmu masih menyisakan nyeri. Itulah  jejak hantaman ketika tak kau serahkan uang itu dengan rela. Ketika terkapar tubuhmu oleh pukulan, saat yang sama harapan dan rencanamu pun terkapar sia-sia.

Entah berapa bulan lalu anakmu mengingatkan tunggakan uang sekolahnya. Kemarau terlambat datang ketika itu, terik matahari hanya bertahan hingga tengah hari lalu mendung sesudahnya membuat batang-batang enceng gondok yang kau jemur tidak kering sempurna, menjadikannya tidak memenuhi standar pabrik penampung. Maka harus menunggu lebih lama sebelum meroncenya menjadi jalinan panjang dan disetorkan pada pabrik mebel di perbatasan kampung. Artinya uang pembayar biaya sekolah itu harus pula menunggu.

Akhirnya, setelah berbulan menjemur dan bermalam-malam meronce  kemarin sore kau terima hasil setoran roncean enceng gondok itu. Akan lunas tunggakan uang sekolah, bahkan tersisa sebagian untuk membeli beras, sedikit minyak dan bumbu dapur ala kadarnya. Demikianlah rencanamu pada mulanya.
“Mak,” anakmu memanggil. Suaranya bergetar, memantulkan cemas yang membuatmu gemetar sekaligus pedih.
Bergerak tatap matamu, beralih pada pintu kamar yang sedikit terbuka. Dari sana samar terhembus aroma tuak. Itulah jejak tertinggal dari jalinan enceng gondok yang menyita peluhmu sejauh ini.
Mata anakmu mengikuti tatap matamu

“Tapi hari ini awal ulangan umum, Mak,” lagi anakmu berkata. Kali ini berupa seruan yang menggugat, “tak akan guru mengijinkanku mengikutinya bila tak terlunasi tunggakan itu.”
Lalu kalian terdiam saling bertatapan. Kau sadari saat itu, kalian sepasang anak beranak yang nyaris kehilangan akal. Lalu desis air mendidih membawa sesuatu padamu, sekantung beras di sudut dapur. Tanpa berpikir lebih lama kau raih kantung itu dengan segera.

“Ini, berikan pada gurumu,” kau serahkan kantung beras itu pada kedua belah tangan kecil anakmu. “Katakan ini pembayar sementara uang sekolahmu. Nanti atau besok Mak akan menukarnya dengan uang tunai.”
Anakmu gugup, terutama adalah ragu.
“Sungguh-sungguh uang tunai,” katamu meyakinkan.
 Anakmu mengangguk kemudian dan bergegas menuju sekolahnya. Sekantong beras erat berada dalam pelukannya. Entah dengan cara bagaimana akan diyakinkan gurunya untuk menerima sekantong beras itu berikut janji ibunya. Gagah langkahnya dalam gerak yang bergegas. Itu adalah karena ia seorang anak yang yakin pada janji ibunya.
Lalu kau kembali pada tungku di dapur. Memadamkan nyala apinya dengan sekali tumpas. Tidak ada lagi beras yang bisa kau tanak, air mendidih itu tidak kau perlukan lagi.
***

Kakimu melangkah menuju gudang wak Saroh. Sebuah bilik kecil dengan tumpukan karung gula pasir dan beras. Wak Saroh sedang memindahkkan gula dari karung besar ke dalam plastik pembungkus eceran 1 kiloan. Masing-masing ditimbang satu persatu hingga sekuintal gula itu terbagi dengan sempurna.
Kau raih dingklik (bangku kecil) dan duduk bersandar karung.

“Biarkan aku membantumu sehari ini,” katamu menatap Wak Saroh lurus-lurus, “Cukup bayar dengan sepiring nasi untuk makan anakku siang nanti. Aku tak punya beras sama sekali.”
Wak Saroh menatapmu, sama lurusnya dengan arah matamu.
“Kalau hanya sepiring nasi untukmu atau anakmu, tak usahlah kau bekerja padaku. Pergilah ke dapur dan ambil yang kau perlukan,” katanya.

Kau menggumamkan terimakasih.
“Bukankah kemarin kau beli sekarung beras?” Wak Saroh bertanya tanpa nada mendesak.
“Kupakai untuk membayar uang sekolah.”
“Zaman sekarang mana ada sekolah menerima beras sebagai pembayaran? Hanya sekantung pula, mana cukup? Seingatku itu hanya terjadi di sekolah desa terpencil yang bahkan tidak terjangkau aliran listrik.”
“Hanya itu yang kupunya.” Kau menunduk, menelan pahit yang mendatangimu entah sejak kapan.
“Ke mana pula uang enceng gondokmu?” mata wak Saroh menajam kini.
Kau gelengkan kepala, tanpa sepatah kata pun menjawab pertanyannya. Patahan kata yang tak perlu, karena wak Saroh pastilah tahu apa arti gelengan kepalamu. Napas panjang terhela kemudian. Diulurkannya padamu potongan tali rafia untuk mengikat plastik gula yang telah ditimbang.

“Apa yang kau harapkan dengan mempertahankan laki-laki itu?”
Pertanyaan beriring hela napas itu menghampiri liang dengarmu. Tarikan napas yang sungguh kau tahu gerangan apa yang tersirat di dalamnya.
“Kalau kau pikir bahwa suatu hari nanti ia akan terlepas dari jerat judi dan tuak, itu artinya kau sedang menunggu keajaiban. Dan keajaiban bahkan lebih langka daripada barang antik. Barang antik masih bisa kau coba cari di pasar loak, tapi keajaiban tak akan kita temukan di mana pun.”
Kau terdiam.

“Apa pula yang kau pertahankan? Di malam hari kau serupa pelacur percuma baginya dan siang hari serupa kantung uang yang selalu bisa dipalak. Banyak perempuan terbodohi oleh rayuan laki-laki. Tapi lelakimu itu bahkan tidak memerlukan rayuan untuk membodohimu.”
Hatimu tercabik. Bukan oleh karena ketajaman kalimat Wak Saroh, melainkan oleh karena kebenaran yang tak terelakkan pada setiap pernyataan itu. Apa yang diungkapkannya benar belaka. Kau bahkan lebih bodoh dari perempuan mana pun.

Lalu seseorang muncul di belahan pintu.
“Angsuran, wah Saroh,” kata tamu itu sembari memberi salam.
“Duduklah dulu sebentar, mau kutuangkan secangkir teh untukmu?” sambut wak Saroh.
“Terima kasih, akan terlalu banyak minumku nanti,” tolak tamu itu lembut, “masih banyak angsuran yang harus kujemput.”
Wak Saroh tertawa, “Begitu ya? Dan setiap angsuran hanya menawarkan air minum saja?”
Tamu itu ikut tertawa.
“Tanggal tua begini, banyaklah yang harus dihemat, itu supaya bisa tetap membayar angsuran tepat waktu.”
“Ya, begitulah.”

Saat Wak Saroh menyerahkan sejumlah uang, tahulah kau siapa orang itu dan seketika muncul sesuatu dalam benakmu.
“Bisakah kau beri aku pinjaman serupa itu?” tanyamu dengan segera. Sangat segera tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu apakah kau layak mengajukan permintaan serupa itu. Tapi bukankah harus kau lakukan segala hal demi memenuhi janji pada anakmu?

Wak Saroh dan tamunya saling bertatapan, lalu beralih padamu kemudian.
“Tapi ini kredit janda,” suara wak Saroh seolah mengambang.
“Apa artinya?” kau tidak mengerti.
Tamu itu menatapmu dengan sungkan berbalut belas kasihan.
“Maaf Ibu, ini bukan kredit biasa. Ini adalah pinjaman tanpa bunga atau pun barang jaminan, yang diprogram khusus oleh lembaga pendonor untuk membantu kehidupan ekonomi para perempuan yang tak bersuami.”
“Artinya, kau harus menjadi janda terlebih dahulu untuk mendapatkan bantuan pinjaman itu,” tambah Wak Saroh.

Kau termangu, lalu seakan melayu oleh harapan yang mendadak pupus. Jadi begitulah. Agaknya para janda dianggap lebih layak mendapat bantuan dibanding para perempuan bersuami. Meski kenyataannya ada perempuan yang justru lebih menderita karena bersuami.

Kau jinakkan harapan yang seketika tumbuh dan layu pada detik berikutnya. Kau redakan gejolak hati yang seolah hendak menggugat. Kau berpikir kemudian sudah waktunya untuk berhenti menjadi perempuan bodoh. Berhenti menjadi perempuan yang disetubuhi demi nafsu belaka atas nama perkawinan. Berhenti menjadi perempuan yang dipalak atas nama ketakberdayaan.
Bagaimana caranya?

Perceraian bukanlah sesuatu yang tidak memerlukan biaya. Lebih dari itu, lelakimu tidak akan sudi bercerai dengan mudah. Anakmu dan orangtuamu di kampung, bisa dipastikan akan menjadi obyek ancamannya untuk tetap mengikatmu.
Apakah demi semua itu kau akan tetap menjadi perempuan yang terbodohi bahkan tanpa rayuan?
Sejatinya kau bukan perempuan bodoh. Hanya dengan berpikir sebentar telah kau peroleh cara untuk menjadikan dirimu seorang janda, tanpa proses perceraian yang rumit dan mahal, tanpa pula melarikan diri dari ancaman.
***

Kakimu melangkah gamang membawa niat samar itu dalam benakmu. Kau hanya memerlukan beberapa cairan untuk membuat tuak oplosan, lalu menuangkannya pada botol-botol yang berjajar di meja di mana lelakimu biasa menempatkan tuaknya. Taruhlah pada jajaran terdepan sehingga akan teraih paling awal.
Pada saatnya tuak oplosan itu akan melakukan tugasnya dengan baik. Tujuan itu akan tercapai dengan sempurna tanpa menimbulkan pertanyaan yang berlebih. Seantero kota tahu bahwa dia adalah peminum kelas berat. Bukan hal aneh bila peminum mati oleh karena keracunan tuak oplosan. Hal semacam itu telah terjadi berulang kali di seantero negeri. Tidak perlu dilakukan pengusutan untuk memperoleh terdakwa. Kematiannya akan menjadi sesuatu yang diikhlaskan, bahkan disyukuri.

Semudah itu. Lalu kau akan mendapat pinjaman kredit janda untuk melunasi uang sekolah anakmu dan kau akan kembali meronce enceng gondok untuk melunasinya. Kau bahkan tidak perlu lagi menyembunyikan uang di balik lipatan stagen. Kau akan tertidur dengan tenang setiap malam tanpa perlu mendengar dengus nafas beraroma memuakkan.
Rancangan yang sederhana. Namun benarkah mudah?

Dahulu kala ada seorang nabi yang bermahkota jalinan duri dan disalibkan oleh sebuah rezim. Sebilah pedang menusuk lambungnya sehingga darah mengaliri palang salibnya dan matilah nabi itu.
Kematian nabi itu diyakini para pengikutnya, merupakan sebuah upaya penebusan dosa umatnya. Bahwa dialah yang tersiksa demi supaya dosa umat terampuni. Kematiannya adalah kunci pembuka pintu surga. Oleh karena itu nabi itu disebut sebagai Sang Juru Selamat.

Dengan kematiannya, suamimu juga akan menjadi juru selamat bagi keluarganya. Anakmu akan bersekolah dengan tenang karena uang sekolahnya terbayar tepat waktu, karena tidak lagi terrenggut untuk membeli tuak ayahnya. Kau akan menjadi seorang janda yang bekerja dengan giat dan menyimpan setiap rupiah penghasilanmu dengan leluasa dan aman di tempat yang sewajarnya tanpa harus merasa was-was setiap kali.
Kalian akan menjadi sepasang anak beranak yang mencoba menata masa depan dengan lebih baik yang tidak pernah terwujud selama lelakimu tetap tinggal. Dengan kematiannya, ayah anakmu akan menjadi seorang juru selamat.

Sang nabi tergenapi takdirnya sebagai juru selamat oleh karena seorang murid Yudas Iskariot menggenapi takdirnya sebagai pengkhianat yang menyerahkannya kepada rezim yang kemudian menyalibkannya.
Sekarang, sanggupkah kau menjadi seorang serupa Yudas demi menjadikan suamimu yang adalah juru bencana menjadi sebagai juru selamat?

Malam larut sudah, menebar jaring kegelapan pada langit tanpa cahaya. Tidak ada bintang berkedip yang terjaring di antara celahnya. Semesta seolah larut dalam lelap nan hening, sejauh telinga mendengar dan mata menerawang.
Namun sepasang matamu tak juga rebah dalam tidur melainkan terus berjaga menelusuri malam yang bagai tak berfajar. (*)

(Jawa Pos, 1 Januari 2012)

Tidak ada komentar: